9' Mungil dan Tinggi Sekali

24 6 0
                                    

Zio mengetahui nama Dito pertama kali saat mendengar nama itu disebut-sebut di hari seorang gadis menampar Shelin. Kali kedua, Zio melihat nama itu muncul di layar ponsel Shelin yang menyala dan berdering tanda panggilan masuk tadi malam.

Karena posisi duduk Zio menyerong pada pintu yang terbuka menuju balkon, ia dapat melihat raut wajah Shelin di sepanjang panggilan itu. Raut itu masih terbayang dalam benaknya. Malam itu adalah kali pertama Zio menangkap sorot kekesalan pada kedua mata Shelin. Ia tidak bisa menahan pikirannya bertanya, apakah laki-laki di ujung panggilan sana yang sukses membuat Shelin sekesal itu? Suara Shelin hanya sayup-sayup dapat ia dengar, tapi tidak menutup telinganya untuk menangkap nada kekesalan yang juga tertera di sana. Sekali lagi, Shelin sampai sekesal itu...

Zio tidak tahu apa yang sudah dikatakan Dito hingga Shelin kesal, yang jelas Zio mewanti-wanti dirinya sendiri agar tidak sampai mengatakan atau berbuat sama seperti Dito. Ia tidak ingin membuat Shelin kesal. Ia ingin keberadaannya sebisa mungkin menjadi kenyamanan untuk Shelin. Ya, dengan begitu Zio akan senang.

Dan, yang paling melekat dalam ingatan Zio adalah saat gadis itu melewati ambang pintu dengan matanya yang meredup tanpa fokus, kemudian gadis itu meluruskan pandangan dan mata mereka bertemu. Saat itu, segala kemuraman di mata Shelin hilang dalam sekejap waktu. Zio sudah berganti posisi menjadi rebahan sejak Shelin menutup telepon.

Detik itu, senyum mereka serentak mengembang. Seolah, segala kegundahan yang datang pada Shelin, sudah tersedia penawarnya. Zio melihat kaki Shelin sedikit melompat untuk mencapai keberadaannya—begitu bersemangat dan yang terpenting terpancar kepercayaan di matanya, juga keyakinan. Ingatan detik-detik itu yang menemani Zio memulai hari, pagi ini.

**

Tanggal berakhirnya belajar daring diundur. Kondisi masih belum mendukung para siswa untuk berkegiatan di sekolah, masih terkait dengan penyebaran Covid-19. Mirisnya, tingkat penyebaran semakin tinggi disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat untuk memutus—atau setidaknya memperlambat rantai penyebaran tersebut.

Korban beserta dampak dari pandemi terus meluap menuju puncak. Segala macam media massa dipenuhi topik yang sama. Padahal, tidak satu pun terlewat mencantumkan halaman berisi langkah-langkah mandiri terhindar dari virus. Cara yang sederhana dan mudah dilakukan, tetapi sedikit niat yang dapat timbul pada masing-masing pribadi.

Pikiran Zio terlempar pada teman-teman di tanah airnya yang pasti sedang bersiap menyambut musim dingin. Jalan-jalan dipenuhi guguran daun, dan hangat perlahan memudar. Ia tiba-tiba rindu bubur labu yang dibuat nenek khusus untuknya di musim gugur. Atau eomuk favorit Jihwan.

Zio menggumamkan nama Shelin, tapi masih cukup jelas sehingga gadis itu mendengarnya. Keduanya sudah menyelesaikan tugas dan hanya bertukar diam sambil menikmati pemandangan hujan yang sedikit demi sedikit mulai membasahi lantai balkon. Shelin berpaling pada Zio, tapi laki-laki itu ternyata tetap menekuri tetesan air hujan sambil meneruskan ucapannya.

“Nanti kamu harus ke Korea,” kata Zio.

“Aku pengin ke sana. Ya, semoga suatu hari nanti.” Shelin menjawab dan sukses menyenangkan hati Zio. Ia akhirnya membalas tatap mata Shelin.

“Aku pengin pulang ke Korea nanti sama kamu.” Demi apapun, Shelin berdebar-debar mendengar kalimat Zio itu.

Meskipun tahu Zio sudah terlanjur menyadari rona merah yang mulai menghias pipinya, Shelin buru-buru memalingkan wajah. Sedang Zio, seperti yang sudah menjadi kebiasaannya, ia mengusap lehernya dengan gugup. Ia berpikir kalimatnya menimbulkan kesalahpahaman karena mungkin bahasanya kurang tepat. Namun, sejujurnya jika memang itu terjadi, kesalahpahaman itu tidak menjadi masalah untuk Zio. Ia mengatakan hal yang jujur pada Shelin.

Bye My First [END]Where stories live. Discover now