19' Interogasi Wingga

12 2 0
                                    

Jadi begini rasanya jatuh cinta versi Shelin.

Beberapa saat setelah sampai di rumah, gadis itu masih menatap snow globe pemberian Zio selagi duduk di atas kasurnya. Seolah-olah selama hidupnya, tidak ada yang lebih indah daripada itu—terlepas dari kebahagiaan yang diberikan keluarganya.

Namun, menurut Shelin waktunya memang pas sekali. Sebelumnya Shelin sempat kacau karena pengakuan Dito (ah, benar juga, Dito! Shelin merasa harus menyelesaikan sesuatu di antara mereka). Hanya dengan menumpahkan keluh-kesahnya kepada Zio, Shelin sudah sangat lega. Lalu cowok itu memberinya kenang-kenangan yang sangat berharga, hingga Shelin merasa sangat bahagia.

Omong-omong, tadi saat masuk rumah, Kania masih ada di ruang tamu sementara Wingga sudah pulang. Tentu saja kakaknya itu sempat heboh menggodanya.

"Manis banget sih Zio. Kalian jadian ya?" tanya Kania seraya mengagumi snow globe yang ditaruh oleh Shelin di atas meja ruang tamu.

Itu pun Kania belum ngeh soal liontin kupu-kupu yang melingkar di leher Shelin. Gadis itu berniat memberitahu soal yang terakhir itu saat bundanya muncul.

"Apaan sih, enggak," jawab Shelin jujur.

"Siapa yang jadian?" Pucuk dicinta, ulam tiba. Benar saja, bundanya langsung muncul dengan pertanyaan itu.

"Ini nih, Bunda!" seru Kania heboh. "Lihat, calon menantu Bunda tuh manis banget dengan ngasih kenang-kenangan sebegini lucunya buat Shelin."

Tatapan sang bunda langsung tertuju pada benda di atas meja ruang tamu. "Wah, bagus banget." Tak ayal bundanya pun menyukai snow globe itu. Tampilannya memang cantik banget, sampai-sampai Shelin jadi penasaran dimana Zio bisa mendapatkan benda itu.

"Bunda, Zio juga kasih ini." Shelin pun menunjukkan liontinnya. Kania hampir heboh lagi, tapi Bunda lebih dulu menimpali.

"Kamu nggak keberatan kan, menerima itu semua? Atau kamu merasa nggak nyaman?" Sang bunda hanya ingin memastikan, karena beliau telah mengajarkan Kania dan Shelin untuk tidak menerima barang-barang (apalagi yang bernilai besar) dari orang asing, kecuali seseorang yang benar-benar sudah dekat (dalam artian seseorang yang memiliki hubungan seperti Wingga, atau pacar Shelin kelak) dan selagi anak-anak mereka tidak keberatan.

Shelin menggeleng. Ia tidak akan menolak pemberian Zio tentu saja, apalagi konteksnya saat ini adalah sebagai kenang-kenangan. Itu merupakan sesuatu yang sangat berharga untuk dikenang saat Zio sudah kembali ke negaranya nanti.

"Kata Zio, ini buat kenang-kenangan. Nanti Shelin juga mau kasih kenang-kenangan buat Zio juga. Cuma belakangan masih belum tahu mau kasih apa," jelas Shelin. Sang bunda pun mengangguk mengerti.

"Kalo Bunda nggak bisa kasih saran, maaf ya. Soalnya Bunda nggak paham selera anak remaja kekinian yang pastinya udah beda jauh dari zaman Bunda dulu."

"Iya, nggak apa-apa, Bunda. Shelin mau minta bantuan Kak Wingga." Soal meminta bantuan Wingga ini Shelin sudah kepikiran sejak lama.

"Kok kamu nggak minta bantuan aku?" Kania terdengar seolah-olah cemburu—maksudnya, cemburu karena adiknya lebih memilih bantuan Wingga ketimbang dirinya.

"Kan Kak Wingga lebih banyak tahu soal anak cowok," ucap Shelin. "Lagian nanti juga ujungnya Kak Wingga sama Kakak, berdua yang bakal bantuin aku kan?"

"Iya juga sih." Kania pasti juga akan mengetahuinya dari Wingga.

Saat jam menunjukkan pukul sebelas, Shelin meraih ponselnya untuk di mode pesawat (kebiasaannya sebelum tidur). Tapi saat membuka layar kunci, sebuah pesan masuk dari Zio.

Zio
Goodnight, Shel. Selamat tidur, ya. See u :)

Sudah dibilang Shelin jatuh cinta sehingga gadis itu sekarang sudah sedang senyum-senyum tidak jelas. Coba Kania lihat, pasti ia akan meledek Shelin tak ada habis-habisnya.

Shelin
Goodnight, Zi. See you^^

**

Keesokan harinya adalah hari Sabtu. Shelin tidak ada pelajaran dan Wingga pun libur kerja. Calon kakak iparnya itu sudah nongol di ruang tamu pada sekitar jam sepuluhan pagi.

Shelin pun melancarkan aksinya menginterogasi Wingga soal sesuatu yang sangat penting.

"Aku udah dengar dari kakakmu kalo kamu butuh bantuan, apaan tuh?" tanya Wingga lebih dulu sambil mulutnya sesekali mencomot kacang sangrai yang dihidangkan di toples cemilan ruang tamu.

Shelin meringis. Sedikit malu karena dengan begini pastinya Wingga tidak bodoh untuk tahu Shelin peduli banget dengan Zio.

"Aku butuh saran dari Kak Wingga," ucap Shelin. Lalu duduk di sebelah Wingga. "Saran dong, kenang-kenangan buat anak cowok yang hobi main game, terus orangnya rada polos, tapi tinggi dan selera humornya lumayan oke juga..."

"Panjang amat. Tinggal bilang buat Zio!" cetus Wingga enteng.

Shelin langsung merapatkan bibir. Baru mulai berbicara dia langsung kepergok begitu. Memang tidak ada gunanya dia menjelaskan dengan maksud tidak menyebut merek, tapi kan Shelin malu kalau harus terang-terangan menyebut nama Zio.

Lagipula... Wingga pasti tahu yang akan segera pergi itu Zio. Jadi dialah satu-satunya cowok yang bisa diberi kenang-kenangan. Wingga terlalu memperjelas. Atau sebenarnya Shelin yang terlalu gengsi.

"Iya deh," pasrah Shelin. Membuat Wingga tersenyum penuh rasa bangga.

"Jadi gimana? Apa yang oke buat dijadiin kenang-kenangan untuk Zio?" Shelin bersiap mendengarkan dengan baik-baik wejangan dari calon kakak iparnya yang setengah normal dan setengahnya lumayan lah kemampuannya kalau dalam hal begituan.

"Jadi gini..."

Bye My First [END]Where stories live. Discover now