DELAPAN BELAS

178 7 0
                                    

Saat ini Vella sudah selesai memasak. Tak terlalu memasak banyak, hanya dua porsi nasi goreng, dua telur mata sapi, dan juga beberapa minuman bersoda yang sempat dia beli tadi di Indomaret bersama Zafran.

Vella pun menyimpan dua piring nasi goreng itu di atas meja makannya. Saat ingin mengambil minuman dari dalam kulkas, suara ketukan pintu mengurungkan niatan Vella, dan gadis itu lebih memilih untuk berjalan ke depan lalu membukakan pintu.

Ceklek.

Terbukalah pintu apartemen Vella, menampilkan Daniel dengan kepala menunduk. Niatnya, setelah selesai memasak Vella ingin memanggil Daniel dan mengajak cowok itu makan bersama di apartemennya. Namun, lihatlah, cowok itu sudah datang tanpa perlu dipanggil.

"Ayo masuk, Bang," ajak Vella kemudian tersenyum. Mencoba melupakan apa yang baru saja terjadi tadi.

Daniel pun masuk ke dalam apartemen Vella. Biasanya, tanpa di suruh sang pemilik pun, Daniel sudah menerobos untuk masuk. Namun, sekarang seperti canggung bila Daniel melakukan hal itu.

Vella membawa Daniel ke ruang makan atau dapur.

"Gak usah canggung gitu, Bang. Lupain sebentar masalah yang tadi. Sekarang, lo makan dulu. Udah gue masakin, tuh," ucap Vella sembari menunjuk makanan-makanan di hadapannya dengan dagu.

Daniel mengangguk, lalu berkata, "Iya, makasih udah mau masakin gue."

"Gak juga, sih. Gue juga kan butuh makan. Sekalian aja tadi," ujar Vella lalu mulai melahap nasi gorengnya. Ayolah, Vella ini benar-benar gadis yang blak-blakan. Daniel tak membalas atau pun tersinggung.

Beberapa menit telah berlalu, dan mereka berdua sudah selesai memakan makanan mereka. Setelah membereskan piring-piring dan gelas bekas Daniel dan Vella, gadis itu lalu mengajak Daniel untuk pergi ke ruang tengah apartemen Vella. Karena menurut gadis itu, kurang cocok bila membahas hal tadi di dapur. Lebih cocok dan sopan bila membahasnya di ruang tengah atau keluarga, 'kan?

"Ayo, mulai!" Seperti sebuah pertandingan, untuk memulai membahas hal tadi saja, Vella harus memberikan sebuah instruksi. Haha, secanggung inikah mereka? Tidak seperti biasanya. Benar-benar suatu yang langka, karena sebelumnya, Vella dan Daniel tak pernah seperti ini.

Daniel meneguk salivanya dengan kasar. Saat berhadapan dengan Vella seperti ini, entah kenapa, kalimat-kalimat indah yang sudah Daniel susun tadi, seolah lenyap terbawa angin. Fyuh, Daniel lupa dengan semua kalimat itu, sialan! Kenapa bisa seperti ini? Susah-susah menyusun, justru tidak terpakai.

"Gue ... mau minta maaf sama lo, Vel. Gue sadar, kalau gue juga salah di sini. Enggak seharusnya gue ngomong tentang lo yang enggak-enggak. Lo pasti sakit hati, dan gue mohon tolong maafin gue. Mungkin, karena lo dan gue udah sering sama-sama, kayak ada yang hilang dari diri gue saat lo gak ada di samping gue. Gue sayang sama lo sebagai adik, sebagai saudara kandung. Lo udah bener-bener gue anggap jadi adek gue sendiri, Vel. Lo tau, 'kan, gimana rasanya saat seorang kakak dicuekin sama adek kesayangannya sendiri? Gue harap lo paham, Vel. Maafin gue karena gue egois. Tapi ini memang gue, Vel. Sulit buat ngerubahnya." Daniel menarik napas pelan, mengucapkan begitu banyak terima kasih di dalam hati kepada Tuhan karena sudah melancarkan niatnya. Ya walaupun semua kata-katanya agak melenceng dari yang sudah dia susun. Tetapi, suatu prestasi yang sangat bagus bisa lancar mengungkapkan kata maaf kepada Vella!

Vella mengangguk mendengarnya. Oh, ayolah, Vella sedang berusaha mati-matian untuk menghilangkan situasi canggung ini. Karena percayalah, Vella tak nyaman berada di situasi seperti ini, dan Vella yakin, pasti Daniel juga merasakan hal yang sama dengannya.

"Gue maafin, kok, Bang. Gue paham apa yang lo rasain. Di sini gue juga mau minta maaf sama lo. Gue juga enggak seharusnya kurang merhatiin lo. Sama kayak lo anggep gue adek, gue juga gitu, Bang. Lo udah gue anggep kakak gue sendiri. Bahkan udah kayak kakak kandung. Lo satu-satunya yang gue punya selain Vagos. Gue juga sadar, tanpa lo gue gak bisa apa-apa. Gue emang ngaku salah, akhir-akhir ini gue suka pergi sama Zafran dan kurang merhatiin lo. Gue juga sama, kok, kayak lo. Egois, enggak mau ngaku kalau gue salah, haha ... tapi lo juga bisa ngerti, 'kan, Bang? Hidup gue enggak selamanya sama orang-orang itu aja. Gue bisa nyaman sama orang kapan pun."

"Makasih, Vel." Hanya dua kata saja, namun sudah berhasil membuat hati Vella menghangat. Akhirnya, semua masalah hari ini antara dirinya dan Daniel bisa terselesaikan. Akhirnya, mereka berdua sudah tidak menghadapi situasi canggung seperti tadi lagi, haha ... menggemaskan!

"Sini, peluk dulu, sini! Seharian gak pelukan!" Bak anak kecil, Vella merentangkan kedua tangannya, pertanda bahwa dia menunggu Daniel agar segera memeluknya. Huh, setiap hari mereka selalu berpelukan, dan bila tidak berpelukan, rasanya seperti ada yang kurang. Huft, Vella benar-benar merindukan aroma tubuh Daniel yang sangat dia sukai. Entah parfum apa yang cowok itu gunakan.

Vella melepaskan pelukannya dan Daniel, jemari tangannya kini tergerak untuk mengacak-acak rambut Daniel hingga ketampanan cowok itu bertambah. Ah, Vella rindu melakukan rutinitasnya ini.

"Tetap jadi, Abang Daniel ganteng yang gue kenal, ya," ujar Vella pelan, sangat pelan namun masih bisa didengar oleh Daniel.

Daniel memajukan wajahnya, hingga berada tepat di sebelah telinga kanan Vella. "Tetep jadi Vella cantik yang gue kenal juga," bisiknya kemudian mengacak rambut hitam berkombinasi cokelat milik Vella itu. Keduanya tersenyum, hati mereka benar-benar menghangat.

"ALAY ANJIRT!" Setelah menyadari sesuatu yang baru saja Vella dan Daniel lakukan, Vella langsung berteriak dengan spontan, bahkan matanya kini mendelik. Ah, sudah di bilang, 'kan, bahwa Vella ini blak-blakan! Ya, begitulah jati diri Vella, hidupnya seperti tak bisa lepas dari kata-kata kasar yang sudah tertanam dalam dirinya sejak dulu. Sulit untuk merubah itu.

"Ya lo, sih, yang bikin gue ngelakuin itu, ngucapin kata-kata itu. Gue, sih, ogah banget sebenarnya. Tapi gue kasihan sama lo, mana human prasejahtos!" alibi Daniel. Sebenarnya, cowok itu memang ingin melakukannya. Tak apa, 'kan, melakukannya sekali-kali kepada sang adik?

Vella mendengus kemudian berucap, "Idih, lo tuh, ya, emang ngeselin!"

Daniel tertawa melihatnya. Senang sekali rasanya bila melihat ekspresi kesal Vella. "Ya udah, gue balik dulu. See u sayang!"

Vella langsung melemparkan bantal sofa yang dihadiahi cekikikan oleh Daniel. "ALAY LO ASU!"

Di tempat lain, Zafran kini sedang berada di rumah Alan. Bukan tanpa alasan dia ke sana, Zafran ingin bercerita dan meminta pendapat dari Alan. Hanya Zafran dan Alan saja, tidak ada Haikal atau pun Erald dan Ferdy. Kalau ada ketiga curut itu, acara sesi cerita Zafran akan kacau. Ya, walupun mereka bertiga juga terkadang bijak, namun tetap saja, bijaknya jarang serius seperti Alan.

"Ngapain lo ke sini? Mau curhat? Atau cerita? Olahraga malem? Nongkrong? Atau apa?" Baru saja Zafran menghempaskan tubuhnya di atas kasur king size milik Alan, cowok itu sudah dihujani begitu banyak pertanyaan oleh sang tuan rumah. Menyebalkan memang. Alan memang jarang berbicara, tetapi sekali cerewet, maka mampuslah kalian!

"Gue mau cerita dikit, sama minta pendapat lo," jawab Zafran. Bila kalian bertanya kenapa Zafran lebih suka bercerita kepada Alan? Jawabannya adalah, cowok itu lebih dewasa dari temannya yang lain. Serius dan jarang bercanda saat sesi-sesi curhat seperti ini. Selalu memberikan saran yang baik, walaupun terkadang saran itu dilontarkan dengan kata-kata yang pedas, tetapi tidak papa. Itulah Alan. Oleh sebab itu Zafran memilih Alan sebagai rumah ceritanya.

"Mau cerita apaan lo?" tanya Alan lagi.

"Lan, gue ... gu-gue, itu ... gue ...." Ah, kenapa rasanya sesusah ini? Kenapa lidahnya seperti kaku untuk mengatakannya kepada Alan? Padahal, biasanya semua masalah yang ingin Zafran ceritakan kepada Alan, selalu lancar terlontarkan. Namun, kenapa ini tidak?

"Gue apa, Zaf?"

"G-gue ... gue ... suk- ah, gak jadi." Benar-benar menyebalkan! Kenapa Zafran menjadi gugup seperti ini? Kenapa sangat sulit mengatakannya? Kepada Alan saja, Zafran sudah gugup dan kehilangan kata-kata seperti ini, lalu bagaimana jadinya bila Zafran katakan kepada si target tujuannya?

Lo masih gugup, Zaf. Itu berarti lo masih ragu sama perasaan lo, batin Zafran lalu menghela napas. Perasaan apa, ya? Lalu siapa si target tujuannya?










TBC!

Ga mau ngemeng apa-apa:vv




Dari perempuan yang lagi rebahannn

Riskaaftr

RENAVELLDonde viven las historias. Descúbrelo ahora