1

35.2K 441 5
                                    


°°°°

"Kamu kenapa sukanya pacaran sama om-om? Atau yang jauh lebih tua dari kamu," tanya Wenda seraya tangannya sibuk membersihkan pasien tetapnya tiap bulan itu dengan posisi tiduran di hadapannya.

Seorang gadis remaja kelas tiga SMA, berwajah manis dengan rambut sepinggang. Harusnya umur segitu masih menikmati masa remaja dengan hang out bareng temen, belajar kelompok dan semacamnya.

Namun, gadis ini sudah melakukan hal lebih dari umur seharusnya.

"Enak, Dok. Mereka duitnya banyak. Aku bisa beli apa aja yang aku mau. Kalau pacaran sama yang seumuran mah bokek. Duit aja masih minta sama orang tua. Gimana bisa beliin aku barang mewah," jelas gadis itu tanpa rasa bersalah.

Tangannya sibuk memainkan ponsel. Sesekali si gadis terlihat meringis.

"Ya, tapi kan kebutuhannya udah beda. Kalau dengan seumuran kamu paling pacaran cuma sekedar pegangan tangan doang. Kalau dengan om-om kamu diajak ngamar," ucap Wenda blak-blakan.

"Hehehe. Ya itu sih sudah resiko, Dok. Cara cepat cari uang ya dengan begini tanpa harus capek. Lagipula seumuran aku ini siapa juga yang mau menerima jadi karyawan. Misalkan kerja freelance pun, paling gajinya cuma cukup buat makan. Cuma bikin capek doang mah males aku," terang si gadis, Iren, dengan lugas.

Wenda hanya menggeleng dengan ucapan si gadis remaja yang terlihat santai itu. Gadis yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Eh, tapi bocah ini sudah bukan gadis lagi ding, pikir Wenda sedikit geli.

Gadis bukan. Janda bukan. Duh.

"Tapi masa depan kamu jadi taruhan ..."

"Masa depan itu masih misteri, Dok. Bagiku cukup nikmati hari ini saja. Yang lain gimana nanti."

"Dasar ngeyel!" gerutu Wenda. "Udah beres untuk sekarang. Keputihan kamu makin parah loh ini. Sementara jangan melakukan hal aneh dulu deh. Makanan juga dijaga terus minum obatnya dengan benar. Kamu selalu pakai pengaman kan?"

"Kadang. Heheh." Merasa sudah selesai, Iren langsung terbangun lalu merubah posisi menjadi duduk. Tangannya masih sibuk membalas chat.

Wenda membereskan peralatan dan langsung merendamnya dengan anti septik. Tak lupa ia pun langsung melepas sarung tangan dan mencuci tangannya dengan sabun.

Ia pun menuliskan sesuatu di sebuah kartu catatan pasiennya. "Kalau misal udah habis obatnya tapi masih begitu, datang ke sini lagi." Wenda menyerahkan kartu pasien dan sebuah kertas resep untuk ditebus di bagian kasir.

"Siap. Aku permisi ya, Dok. See you." Iren melangkah dengan ringan keluar ruangan dokter langganannya.

Setelah ini, ia harus bertemu si om. Dan sudah pasti takkan pernah terlewatkan hal itu. Kan itu memang sudah menjadi salah satu tugasnya juga. Padahal Dokter Wenda sudah memperingatinya. Tapi sesekali bandel nggak papa deh, pikirnya.

Demi ponsel dan tas baru yang sudah dijanjikan.

Wenda, entah harus bagaimana lagi menasehati bocah itu. Bebal sangat.

Masih remaja tapi kondisi bagian intim sudah seperti pernah melahirkan. Hanya demi mengejar sesuatu untuk sekedar eksis dan diakui.

Miris.

"Padahal masa depan kamu masih panjang Ren ..."

Wenda tau, Iren berasal dari keluarga sederhana. Gadis remaja itu sering curhat kepadanya setelah pertemuan ketiga mereka. Mungkin gadis itu merasa nyaman bercerita dengannya.

Sering diolok dan dihina kawan sekolah karena tidak terlihat gaul dan terlalu berpenampilan sederhana.

Mungkin karena tak tahan terus di bully, membuat Iren nekat melakukan hal itu. Cara cepat mendapatkan uang. Terkadang orang yang kepepet memang akan mengesampingkan apapun. Termasuk harga diri.

Sugar BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang