14. Get into It

598 72 9
                                    

Sexy Daddy (14)

°°°

Pria itu sudah berdiri di depan ruanganku ketika diri ini baru saja membuka pintu hendak pergi ke kantin.
“Hai, makan siang bareng, yuk,” ajaknya dengan suara renyah. Senyum terus tersungging di bibirnya yang tipis.

“Kok … di sini?” tanyaku.

Ia mengangguk. “Sengaja. Pengen makan siang bareng kamu. Langsung deh meluncur ke sini.” Ia menjawab tanpa beban, tanpa malu-malu.

Dan rasanya, aku gagal untuk tak terharu. Membayangkan pria ini menyempatkan diri untuk datang ke sini di tengah-tengah kesibukan, rasanya kok diriku begitu diperhatikan. Apalagi kalau ingat bahwa letak kantornya lumayan jauh, memerlukan perjalanan sekitar dua puluh lima menit, ah, betapa perhatiannya dia.
Jauh-jauh datang ke sini demi untuk ngajakin makan siang doang.

Sebentar, kalian tidak berpikir bahwa dia Bae, kan?

Bukan. Ini Daniel!

“Tapi, aku udah pesen makan siang di kantin kantor,” ucapku.

“Jangan gitu, dong. Aku udah jauh-jauh ke sini masa mau ditolak?” Ia merajuk lucu.

“Ya udah, makan siang bareng di kantin aja.” Aku menawarkan.

Daniel menggeleng. “Aku udah nyiapin tempat.”

Lagi-lagi rasanya terharu. Wadidaw, dia udah nyiapin tempat khusus sekadar untuk makan siang denganku? 

“Ya nggak enak, dong. Udah terlanjur pesen, masa nggak jadi?”

“Biar aku yang bayarin, kasihkan ke rekanmu yang lain. Kamu tetap ikut makan siang sama aku.”

Aku menimbang sekejap. Setelah dipikir-pikir, kasihan juga Daniel kalau kali ini aku tolak. Makanan di kantin kan bisa diambil Elsa atau yang lainnya.

“Oke deh,” jawabku kemudian. Mengiyakan ajakan Daniel untuk makan siang di luar. Setelah pamit pada Elsa, aku mengikuti Daniel ke parkiran. Kali ini aku naik mobilnya.

***

“Aku minta maaf ya soal Mami.” Daniel berujar tentang hal ini untuk ke sekian kali. Ia mengajakku makan siang di sebuah restoran privat dengan menu-menu luar biasa mahal.

“Ya ampun, kamu udah beberapa kali bilang tentang hal itu.” Aku terkekeh, lalu memasukkan sesendok sup ke mulut.

Daniel mengangkat bahu. “Beneran, aku ngerasa nggak enak sama kamu. Mami menemuimu tanpa memberitahu, tanpa janjian lebih dulu. Aku ngerasa kecolongan aja.”

Aku tersenyum. Kali ini benar-benar tulus. “Beneran, nggak apa-apa, kok. Beliau datang untuk minta dibuatkan baju, dan aku menyanggupinya.”

“Cuma itu?”

Aku mengangguk.

“Nggak bahas tentang diriku? Tentang kita?”

Sejenak aku terdiam. Tapi akhirnya aku memilih menggeleng. “Nggak ada. Cuma obrolan biasa soal baju dan lain-lain.”

Daniel manggut-manggut.

Aku menggigit bibir sejenak lalu berhenti menyendok makanan, “Um, soal kita ….?”

Sadar akan pembicaraan yang mulai serius di antara kami, Daniel meletakkan sendok ke mangkuk, melipat kedua tangan di atas meja, lalu menatapku. “Oke, ayo kita bahas.”

Aku menelan ludah. Kepalang basah. Sepertinya ini memang harus dibicarakan. Aku tak mau menempatkan Daniel di situasi tak menentu. Ia terlalu baik untuk perlakuan seperti ini.
Lagipula, aku ingin menyelesaikan urusanku satu-satu. Ya dengan Daniel, ya dengan Bae.
Kalau terus berlarut, dadaku sesak.

Sexy BaeWhere stories live. Discover now