01. Going Home

4.6K 302 37
                                    

Beberapa tahun yang lalu...

Jam dua dini hari dan ponselku tak berhenti berdering.
Aku mengerang sambil menindih kepalaku dengan bantal. Berharap bahwa cara itu mampu meredam nyanyian dari benda tipis di atas nakas. Dan nyatanya cara ini tak mempan untuk menghalau suara nyaring dari benda tersebut.

Serius deh, aku baru saja memejamkan mata setengah jam yang lalu setelah melakukan lembur, dan sekarang benda sialan itu merusak tidur nyenyakku. Duh.

Jika saja telpon itu berasal dari Elsa, asisten sekaligus partner kerjaku yang masih saja sibuk nanyain buku sket, aku bersumpah, besok pagi-pagi sekali aku akan menemuinya, mencengkeram tubuhnya, lalu menelannya hidup-hidup!
Ah, harusnya tadi kumatiin saja benda itu!

Sempat berhenti sejenak, ponselku kembali berdering dan kali ini terus menerus.
Mengerang lagi, aku menyingkirkan bantal dari kepalaku lalu meraba-raba nakas, meraih ponsel yang masih bergetar dan berdering.

Menyipitkan mata, aku menatap layar. Dan ketika melihat sebuah nama yang tertera di sana, kantukku lenyap seketika.
Aku bangkit, lalu segera menerima telpon tersebut.

"Bae?" Panggilku.

Bae, atau Abae, adalah panggilan kesayangan yang kuperuntukkan bagi Baekho. Entah sejak kapan panggilan itu kusematkan padanya. Sejak kecil, sejak SD, mungkin.
Pokoknya karena saking dekatnya hubungan pertemanan kami, aku tak sungkan memanggilnya: Bae.
Nama di kontak pun kutulis itu.
Bahkan walau ia sudah menikah, sudah hijrah ke kota lain, aku tetap saja memamggilnya 'Bae' manakala kami berkomunikasi.

Terkadang aku bahkan tak tahu malu memanggilnya Bae manakala berbicara dengannya, padahal ada istrinya di sana.
Ah, untung Sisca, istri Bae bukan tipe pencemburu. Jika iya, aku pasti sudah dijambak olehnya.

"Bae?" Panggilku lagi ketika tak ada jawaban.
"Zoya..."
Dan akhirnya terdengar suara serak dari sana.
"Dia... meninggal."

Dan hatiku mencelos. Ponsel di tanganku meluncur jatuh begitu saja.

Malam itu juga, aku memesan tiket pesawat dan segera terbang ke sana, kota tempat Bae berada.

Sudah hampir satu tahun ini Sisca sakit-sakitan. Dokter bilang ada masalah dengan jantungnya yang lemah. Selama ini Bae tak putus asa untuk menemaninya berobat, keluar masuk Rumah Sakit.
Beberapa minggu yang lalu aku sempat berkunjung ke rumahnya dan waktu itu ia drop. Kupikir dengan perawatan intensif keadaannya akan kembali membaik.
Aku hanya tak menyangka ia tak mampu bertahan dengan penyakitnya.

Setelah menempuh perjalanan hampir 12 jam, akhirnya aku sampai di rumah Bae keesokan harinya.
Ketika sampai di sana, proses pemakaman Sisca sudah selesai. Beberapa pelayat bahkan sudah pulang ke rumah masing-masing.
Hanya tersisa beberapa tetangga dan sanak saudara yang masih sibuk beres-beres.

Lea, putri kecil Bae dan Sisca yang waktu itu berusia 5 tahun tampak tertidur pulas di pangkuan salah satu bibinya.
Melihat kedatanganku, perempuan itu tersenyum menyapa lalu berujar, "Papanya Lea ada di kamar."

Membayangkan Bae ada di kamar, sendirian, dan berduka, air mataku nyaris saja tumpah.
Kemudian tanpa membuang waktu, aku beranjak ke kamar yang di maksud.

Dan di sana, aku melihat Bae duduk mematung di pinggir ranjang. Wajahnya tertunduk lesu, tapi tak kulihat ia menangis.
Barulah ketika aku memamggil namanya lirih, lelaki itu mendongak, menatapku dengan tatapan membuncah, dan akhirnya air matanya berjatuhan.

Ia bangkit, berjalan dengan gontai ke arahku, dan sekian detik kemudian, ia menumpahkan isak tangisnya di pundakku.

Aku memeluknya erat, dan ikut menangis.

Sexy BaeWhere stories live. Discover now