13. Rejected

690 87 20
                                    

"Aku tak berniat menikah lagi."

"I adore Sisca, but my love is only for you."

Dua kalimat itu terus saja terngiang di kepala, menimbulkan beban tersendiri. Membuatku tak sanggup untuk bertemu dan melanjutkan pembicaraan dengan Bae. Seperti halnya pagi itu, aku berangkat pagi-pagi sekali ke kantor. Sengaja, agar aku tak berpapasan dengannya. Sudah berkali-kali Ia mencoba berbicara denganku dan aku selalu menolak. Sungguh, aku belum siap.

Dia tak berniat untuk menikah lagi, tapi ia juga berbicara jujur bahwa akulah cintanya. Lalu aku harus bagaimana? Jika aku bilang kalau akhir-akhir ini aku mudah sekali rindu padanya, apa ia akan berubah pikiran? Apa ia akan memutuskan untuk menikah lagi? Atau sebaliknya ia tetep bersikukuh untuk menduda selamanya?

Lalu aku harus bagimana jika kelak hubungan kami tak berjalan mulus? Persahabatan kami akan hancur. Dan aku tak sanggup kehilangan Bae dengan kondisi seperti itu.

Aku paranoid? Memang. Percayalah, punya perasaan spesial pada sahabat sendiri itu ... dilema.

"Mbak Zoya!"

Aku nyaris saja menubruk Elsa yang tiba-tiba muncul di hadapanku.

"Ngelamun mulu." Ia ngedumel. "Mbak Zoya nyaris nabrak pintu lho, tadi. Nggak nyadar ya?"

Aku berdehem, sadar bahwa aku memang berjalan sambil melamun.

"Akhir-akhir ini Mbak Zoya jadi hilang fokus mulu ya. Nggak biasa. Aneh. Kenapa sih, Mbak?" Gadis itu bergelayut di lengan selama kami menyusuri lorong menuju ruang kerja.

"Cerita dong, Mbak. Aku 'kan calon ipar." Elsa menyeringai.

"Ipar?" Aku nyaris berteriak.

"Kan Mbak Zoya udah ngasih restu. Dan hubunganku sama Mas Aron makin lengket." Ia menyeringai lagi. Aku bengong. Serius?

"Kamu masih muda. Temenan dulu aja." Aku berujar.

"Aku nikah muda nggak masalah, kok."

Mendengar jawaban Elsa, aku hanya bisa tepok jidat. "Ya sudahlah. Sekarang, biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku. Oke?" Aku mendorong tubuh Elsa agar gadis itu pergi, ke kantin, ke gudang, ke ruang jahit, atau kemana kek. Agar aku bisa segera menyendiri di ruang kerjaku dan meluapkan kegalauanku dengan sketsa.

"Siap. Ntar kubawain teh anget ya, Mbak." Gadis itu melesat denga lincah.

Aku masuk ke ruanganku dan menghempaskan tubuhku ke di kursi. Sempat sejenak berkutat dengan buku sket, akhirnya aku menyerah. Tidak ada ide. Otakku buntu.

Memijit pelipis lelah, bayangan akan Bae kembali mengusik.

Bagaimana kedua matanya berbinar manakala ia menyatakan cinta padaku.

Suaranya yang adem. Tato-tatonya yang seksi. Dadanya yang berotot.

Kulitnya yang terasa pas untuk disentuh. Aduh.

"Mbak Zoya ...,"

Lalu semuanya hilang, ambyar.

"Apa, sih?" Gigiku terkatub.

"Ada tamu."

"Siapa? Mas Tajir lagi?" Aku menduga. Karena biasanya memang begitu.

"Ibunya." Elsa menjawab singkat dan mantap.

Aku terperanjat. Ibu Daniel? Ngapain ke sini?

"Serius? Yakin itu Ibu Daniel?"

Elsa mengangguk. "Aku tanya beliau jawabnya gitu. Mau ketemu Mbak Zoya katanya."

Sexy BaeWhere stories live. Discover now