Bagian 6

2.7K 499 48
                                    

Suasana hening menyelimuti dua orang berlainan jenis dalam mobil setelah Wira membawa Ara ke rumah sakit terdekat. Penjelasan dokter mengenai cidera pundak yang Ara alami, membuat hati Wira terusik oleh rasa bersalah pada gadis itu, namun anehnya masih tak ada niatan sedikitpun darinya untuk meminta maaf pada Ara, pikiran Wira masih saja berkilah jika tetap Aralah yang bersalah karena masuk ruangannya tanpa ijin serta tidak menghindar waktu itu. Hingga mobil berhenti tepat di depan kafe, tak ada seorang pun dari mereka yang membuka suara.

Tanpa berkata sedikitpun, Wira lebih dulu keluar dari mobil. Ara yang melihat sikap atasannya itu hanya menghela napas kemudian bergegas turun sebelum sang atasan kembali menegurnya. Baru kali ini ia menemui manusia sejenis Wira, semoga ia betah bekerja lebih lama di kafe ini.

"Ke ruangan saya," titah Wira tanpa merasa perlu memutar balik posisinya.

Ara yang paham dengan maksud Wira, segera mengekor di belakang pria itu. Ada apa lagi sekarang?

"Besok kamu tidak usah datang."

Baru saja Ara menutup pintu, perkataan Wira malah mengejutkannya.

"Ma ... maksud Bapak? Saya ... dipecat?" cicit Ara di akhir ucapannya. Ia menunjukkan raut penuh tanya. Apa salahnya sekarang?

"Sembuhkan dulu pundakmu. Saya tidak mau kerja kamu terhambat karena itu. Tiga hari. Sekarang kamu boleh keluar," perintah Wira yang kini kembali duduk membuka laporan yang belum selesai ia baca.

Mendengar penjelasan sang atasan membuat Ara sedikit lega karena ia masih bisa bekerja di tempat itu, mengingat jaman sekarang sangat sulit mencari pekerjaan. Namun, belum sempat tangan Ara mencapai gagang pintu, suara Wira kembali menghentikannya.

"Tinggalkan nomor ponsel kamu di kertas memo itu, saya akan mengecek langsung apa kamu mendengar kata-kata saya." Wira mengatakannya tanpa mengalihkan pandangan ke arah Ara.

Ara berbalik, menuju sebuah kotak yang Wira maksud, menuliskan nomor ponselnya di sana kemudian mengembalikannya ke tempat semula.

"Ingat, kamu akan saya pantau."

Kalimat Wira membuat Ara sempat mengerutkan dahi sejenak. Apakah ini tidak berlebihan? Bahkan sekarang Ara merasa seperti buronan.

"Tunggu apa lagi? Kemasi barang kamu lalu pulang." Wira mengalihkan fokusnya dari kertas laporan, menaikkan sebelah alisnya kemudian memberikan isyarat keluar lewat matanya.

"Baik, Pak. Permisi."

Sesaat setelah Ara keluar dari ruangannya, Wira nampak memikirkan sesuatu.

"Gadis yang menarik," gumam Wira tanpa sadar.

Selama dia membuka kafe ini, baru kali ini Wira menjumpai karyawati yang entah kenapa mampu menarik perhatiannya sejak awal bertemu. Jika mayoritas karyawati yang ia pekerjakan selalu berusaha menarik perhatiannya setiap dia memantau langsung, Ara bahkan sama sekali tidak berani melihat padanya. Gadis itu terlihat sangat membutuhkan pekerjaannya sekarang.

Sebenarnya bagaimana kehidupannya?

***

"Pak Wira bawa kamu kemana tadi, Ra? Kamu enggak apa-apa kan?" berondongan pertanyaan dari Fira menyambut Ara yang baru saja masuk dalam ruang karyawan.

"Aku nggak papa kok, Fir," jawab Ara singkat seraya mengeluarkan tasnya dari loker.

"Loh, kamu mau ke mana?" Fira heran, pasalnya kafe belum waktunya tutup namun Ara sudah berkemas.

"Pak Bos nyuruh pulang," sahut Ara seraya berbalik menuju kamar mandi untuk berganti pakaian.

***

Sementara itu dalam ruangannya, Wira sedang menunggu setelah menghubungi Pramono untuk membawakan berkas data.

"Permisi, Pak."

Pram melangkahkan kaki lebih dalam setelah mendapati isyarat berupa anggukan kepala dari sang pemilik kafe.

"Ini data lengkap karyawan baru kita tahun ini," jelas Pram seraya menyodorkan map data.

"Letakkan di sana, kamu boleh keluar," titah Wira yang masih membaca berkas yang sebelumnya ia teliti.

Sepeninggal Pram dari sana, Wira mulai meletakkan berkas di tangannya kemudian beralih pada map yang telah Pram bawakan. Entah bagaimana dia sangat penasaran dengan salah satu pegawai hingga meminta data-data pada Pram.

Lembaran-lembaran ia buka perlahan dan amati, hingga jarinya terhenti pada bundel lembaran terakhir tepat di mana data gadis itu tertera.

"Mutiara Anandya," guman Wira seraya mengamati lekat foto gadis itu.

Kali ini Wira merasa pernah melihatnya sebelum ini, tapi soal di mana mereka pernah bertemu, Wira sama sekali tak mengingatnya.

Sepertinya Wira menemukan sesuatu yang menarik, hingga sebuah senyum tipis tercetak di bibirnya. Teringat akan memo yang tergeletak di ujung meja, dengan cepat Wira mengambil serta menyalin apa yang tertera di sana ke ponsel.

Dapat. Wira menggenggam ponselnya serta memikirkan bagaimana ia memulai semua ini.

***

"Ibu masak apa malam-malam gini," sapa Ara begitu menemukan keberadaan ibunya yang berkutat di dapur.

"Eh, kamu kok udah pulang, Ra. Ibu nggak denger kamu ucap salam." Bu Ratna mencuci tangannya di keran wastafel kemudian menghampiri Ara yang kini sedang duduk seraya minum air putih di meja makan.

"Iya, Bu. Tadi atasan Ara yang suruh, katanya biar istirahat dulu, padahal Ara gak kenapa-kenapa." Singkat Ara menjelaskan.

"Yaudah, Ibu tadi ungkep ayam kesukaan kamu. Ibu goreng dulu ya, kamu mau makan dulu apa mandi dulu?"

"Enggak usah, Bu. Ibu istirahat aja, pasti Ibu capek. Ara belum laper kok, nanti biar Ara goreng sendiri aja kalo laper. Ara ke kamar dulu ya, Bu," cegah Ara yang tak tega melihat wajah lelah ibunya sepulang bekerja, kemudian beranjak ke kamar untuk membersihkan diri.

Bu Ratna hanya memandangi punggung puterinya yang semakin menjauh dengan tatapan yang sulit diartikan. Kemudian mengela napasnya pelan sebelum beranjak menyiapkan lauk meski puterinya melarang serta membereskan dapur sebelum beristirahat.

***

Tring!

Suara penanda pesan masuk terdengar dari ponsel milik Ara yang tergeletak begitu saja di kasur. Ara yang telah selesai berganti pakaian terlihat heran ketika pada layar notifikasi yang terlihat hanyalah sebuah nomor yang tak ia kenal, namun pada akhirnya gadis itu abaikan dengan memindahkan ponselnya ke atas meja tanpa ada keinginan membuka ruang percakapan berlogo telepon hijau tersebut.

Tring!

Lagi, pesan masuk kembali terdengar dari nomor yang sama mengusik Ara yang kini tengah merebahkan diri di atas ranjang. Ara pikir mungkin saja itu hanya orang iseng, ketika di bunyi notif ketika akhirnya ia menyerah.

0838345xxxx

Di rumah?

Saya hanya ingin memastikan kamu mendengar ucapan saya tadi.

Saya tidak suka pesan saya diabaikan.

Dahi Ara berkerut ketika membaca isi dari tiga pesan beruntun yang dikirim oleh nomor tak dikenalnya. Belum berapa lama ia membuka pesan, kembali sebuah chat muncul membuatnya sedikit terperanjat.

Kamu online dan beraninya hanya membaca tanpa membalas pesan atasan kamu?

Mata Ara membola ketika menyadari siapa sosok yang mengiriminya pesan berantai tersebut. Wira? Ternyata ini maksud dari pria itu memintanya meninggalkan nomor ponsel sebelum pulang tadi.

...

Gadis CadanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang