Bagian 21

1.5K 338 50
                                    

Adakah yang masih mencari kelanjutan lapak ini? Maaf terlalu lama up... Selamat membaca 😊

...

Sunyi melingkupi sepasang manusia yang kini duduk berdampingan, setelah perdebatan yang sedikit sulit hingga pada akhirnya membuat Ara terpaksa berada dalam satu mobil dengan pria ini, sementara motor Ara yang mogok telah diambil orang bekel pun atas bantuannya.

"Sudah makan?" Sebuah tanya membuat Ara yang semula fokus melihat sepanjang jalan luar jendela sekilas menengok ke arah si pengemudi yang tak sedikitpun melepaskan fokusnya dari jalan kemudian kembali memusatkan perhatian pada jalan di depannya yang perlahan nampak lengang.

"Pasti capek jalan kaki jauh sambil dorong motor, kalau tidak keberatan, di depan ada warung sate, kita berhenti sebentar sekalian saya mau makan ... Mbak." Pria itu meneruskan perkataannya meski sedikit terdengar canggung pada akhir kalimat sebelum kakinya menginjak pedal rem saat lampu lalu lintas menandakan warna merah.

Kenapa Bima masih saja memanggil Ara seperti itu, sementara pria itu sangat tahu jika Ara tak lagi terikat hubungan apapun dengan sang kakak? Bima sendiri sebenarnya merasa canggung ketika memanggil gadis yang bahkan usianya lebih muda darinya dengan panggilan mbak, mungkin karena dulu gadis ini adalah calon istri dari Ares yang notabene adalah kakak kandungnya membuat Bima jadi merasa biasa, namun sekarang? bahkan Ares saja telah menikah dengan Laras beberapa bulan lalu. Entah bagaimana kondisi keluarga mereka sekarang, terakhir yang Bima tahu mereka sempat ribut hingga membuat Ares memilih tinggal beberapa hari di rumah ibunya.

"Bisa jangan memanggil saya dengan sebutan Mbak lagi?" Sebuah tanya  bernada datar terlontar seiring pandangan Ara yang sepenuhnya  menatap Bima.

"Ya?" Bima yang tadinya sempat bermonolog dengan pikirannya sendiri tergeragap dengan pertanyaan tiba-tiba dari Ara.

"Jangan panggil saya Mbak lagi. Kita bukan siapa-siapa. Kalau kamu lapar, berhenti saja untuk makan, saya bisa menunggu." Ara kembali menyandarkan punggungnya dan berfokus pada jalan laju mobil ketika lampu beralih menjadi hijau, mungkin tak apa jika ia menemani Bima mencari makan sebagai ucapan terima kasih, Ara sebelumnya telah mengabari ibunya perihal ia yang pulang terlambat.

Hening melingkupi keduanya hingga Bima menepikan mobilnya di depan sebuah warung sate yang masih buka dan terlihat ramai meski waktu menunjukkan hampir tengah malam. 

Tanpa mengucapkan sepatah kata, Bima keluar dari mobil kemudian memutar tepat di pintu samping tempat di mana Ara masih duduk mengamati sekitar. Mengetuk pelan kaca agar membuat perhatian Ara teralih padanya, kemudian menganggukkan kepala sekali sebagai tanda jika ia meminta Ara untuk ikut keluar menemaninya. Tanpa membantah Ara keluar mengikuti langkah kaki pria yang kini tengah memesan makanan dan terlihat bergurau singkat dengan si pedagang.

"Ayo duduk di sebelah sana saja." Bima tanpa sadar menggandeng tangan Ara, menuntunnya pada meja paling ujung yang belum terisi.

"Gimana kuliah kamu?" Bima mencoba mencairkan suasana yang terasa canggung setelah ia yang tersadar tanpa sengaja telah  menggandeng dan menuntun Ara mencari tempat duduk untuk mereka, sementara Ara kini terlihat  menyeruput teh hangat saja seraya membuang pandang mengamati para pengunjung yang silih berganti.

"Baik." Ara meletakkan kembali gelasnya, melipat kedua tangannya di atas meja menghadap Bima yang duduk berseberangan dengannya.

Obrolan singkat mengalir meski akhirnya suasana hening kembali menemani keduanya hingga Ara sampai di depan rumah.

***

Enggak bisa sama kakaknya, adiknya juga mau ya kamu.

Sebuah pesan yang masuk setelah ia selesai membersihkan diri, membuat kening Ara mengernyit. Niatnya merebahkan diri seketika hilang, gadis itu memilih menarik kursi menumpukan sebelah tangannya yang bebas ke atas meja untuk menyangga kepala kemudian membaca baik-baik maksud si pengirim pesan. Hampir seharian ia tidak mengecek pesan masuk ke ponselnya, menghadapi ujian semester serta bekerja setelahnya membuat perhatiannya terkuras di sana. Hari ini Ara hanya merespon telepon masuk jika ada keperluan penting serta mendesak.

Senyum kecut terbit kala ia menyadari tujuan pengirim pesan singkat itu. Kali ini apa lagi salahnya? Kenapa dirinya selalu menjadi sasaran empuk serangan sang bibi.

Menutup room chat dari sang bibi dengan embusan napas lelah, mata Ara menangkap sebuah pesan singkat dari seorang lainnya yang ternyata telah masuk lebih dulu lima jam yang lalu. Ah, pria ini kenapa tiba-tiba mengusiknya lagi setelah beberapa hari Ara merasa dapat bernapas.

Memilih menghiraukan pesan tersebut, Ara mengubah setelan ponselnya dalam mode senyap agar ia bisa beristirahat sejenak meski dirinya tak yakin apakah bisa melakukannya. Ara butuh tenaga untuk menghadapi hari esok. Mungkin ujiannya nanti akan lebih berat lagi untuk dijalani, meski Ara selalu berdoa hal itu jangan sampai terjadi.

Tanpa Ara tahu jika pada waktu yang sama namun di tempat berbeda seseorang kini tengah diam-diam memikirkannya.

"Apakah aku harus mengejarnya?" gumam pria yang kini masih duduk dalam mobil seraya mengetukkan pelan jari-jarinya pada kemudi tanpa melepas pandangan dari rumah Ara yang kini terlihat gelap. Posisinya kini tak jauh dari rumah gadis itu.

"Kita tak akan pernah tau sebelum mencoba bukan," sambungnya meyakinkan diri disusul sebuah senyum tipis, kemudian melajukan kendaraannya menjauh dari sana.

...

Gadis CadanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang