Bagian 14

3K 489 14
                                    

Malam semakin pekat, bahkan beberapa jam lagi pagi akan menyapa, namun matanya belum juga mampu terpejam rapat bahkan nampak segar memandang remang langit-langit kamar meski lampu telah sedari tadi ia matikan. Menyilangkan tangan ke belakang sebagai bantalan kepala seraya mengembuskan napasnya pelan.

Pikiran Wira mulai memutar ulang kejadian yang ia alami beberapa hari belakangan. Ara, dari sekian banyak wanita kenapa dirinya malah dipertemukan dengan gadis itu. Sialnya, gadis itu ternyata juga berada dalam lingkaran masa lalu yang sangat ingin ia hindari. Di sisi lain, sesuatu dalam diri Wira selalu bereaksi saat Ara bersama dengannya membuat pria itu semakin kesulitan menterjemahkan perasaannya sendiri. Dan dari sekian banyak yang bisa ia lakukan, dirinya malah membawa Ara berjalan semakin jauh dalam hidupnya dengan menawarkan, ah tidak, lebih tepatnya ia memaksa Ara untuk menyetujui keinginannya.

"Argh! Sial!" desis Wira seketika meninju udara untuk menyalurkan emosinya.

Wira merubah posisinya, menutup kedua matanya dengan sebelah lengan berharap matanya segera terpejam, berusaha menghalau pikiran yang semakin berkelana.

***

Di tempat berbeda, Ara pun juga merasakan kesulitan beristirahat. Baru beberapa saat matanya dapat terpejam, namun sesuatu seperti membangunkannya. Melirik pada jam dinding di sisi kanannya, tiga jam lagi waktu subuh tiba.

"Kenapa jadi gini sih?" guman Ara seraya menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang.

Surat perjanjian itu, Ara masih saja merutuki kebodohannya yang tidak bisa melawan kekuasaan Wira dengan konsekuensi yang akan ia tanggung entah sampai kapan.

"Gimana kalo ibu sampe tau nanti?" Ara memilin ujung selimutnya, menggigit bibir dalamnya untuk menyalurkan kekhawatirannya tentang apa pandangan sang ibu padanya ketika nanti mengetahui isi perjanjian dari Wira yang ia setujui.

Wira, pria itu seperti tengah memanfaatkan dirinya, namun apa alasannya, bukankah kesalahannya sudah ia tebus kemarin. Apakah hal itu belum cukup bagi Wira?

Ingatan Ara seakan kembali pada saat Wira menunjukkan sebuah map ke hadapannya beberapa jam lalu.

***

Mata Ara mencerna satu persatu isi dari kertas yang kini ada di hadapannya. Tak banyak poin, hanya tiga nomor namun mampu membuat Ara berpikir keras.

"Pak, tapi..." Ara semakin bingung bagaimana menyampaikan keberatan untuk membuat pikiran sang bos kembali normal. Ini tidak masuk akal baginya.

"Tanda tangan saja, toh kamu tidak akan rugi. Saya menjamin kuliah kamu sampai selesai." Wira berkata santai, ia tahu jika Ara selama ini bekerja untuk menyelesaikan kuliahnya, bukan tidak mungkin jika Ara akan menyetujui permintaannya.

"Lihat di poin pertama, kamu hanya perlu berada di dekat saya saat saya butuh kamu. Sepertinya itu tak akan sulit, lagipula saya tidak berniat macam-macam dengan kamu." Wira menatap Ara lekat seolah mengunci Ara di sana.

"Tapi...," bisik Ara namun bibirnya kembali tertutup rapat saat jari Wira mengetuk kertas pada poin yang lain, membuat Ara mengalihkan fokus pandangannya ke sana.

"Kamu hanya perlu membacanya kemudian tanda tangani, sebagai jaminan memegang ucapan saya akan menanggung semua biaya kuliah kamu mulai sekarang, besok saya akan ke kampus kamu untuk mengurus semuanya. Saya hanya butuh kamu, dan kamu tidak akan dirugikan dengan hal ini." Wira memundurkan tubuhnya kemudian menyilangkan kedua tangannya.

Ara terdiam beberapa saat, mencerna setiap hal yang Wira ajukan, hingga sebuah keputusan ia ambil untuk menandatangani perjanjian itu. Mungkin orang akan berpikir jika dia matre, namun dia hanya mencoba berpikir realistis dalam kehidupannya. Paling tidak, setelah ia lulus nanti, dirinya harus mempunyai pekerjaan yang lebih baik untuk mengembalikan bantuan Wira, ya, Ara menganggap ini hanyalah sebuah bantuan, bukan imbalan atas apa yang Wira ajukan padanya saat ini.

Ara tak pernah tahu apa tujuan Wira sebenarnya, namun perasaannya mengatakan pria ini tak akan berbuat jahat padanya. Sementara Wira, pria itu tersenyum samar saat mengetahui Ara menyetujui perjanjian yang ia ajukan. Entah apa yang akan terjadi jika gadis itu tau apa yang sedang ia rencanakan dibalik ini semua. Ia hanya berharap semua akan berjalan sesuai rencananya.

***

Ara tersadar dari memorinya ketika bunyi alarm mulai terdengar. Belum sempat terpejam, subuh sudah datang. Beruntung tak ada mata kuliah hari ini, hingga ia masih punya waktu beristirahat sebelum berangkat ke kafe siang nanti.

Segera gadis itu beranjak untuk menunaikan kewajibannya, memanjatkan doa agar semua keputusannya akan berjalan baik. Pun dengan pria di tempat berbeda yang melakukan hal sama seperti Ara. Biarkan semua berjalan sesuai kesepakatan yang telah mereka setujui.

Terlepas dari semua itu, keduanya seakan terlupa jika kadang jalan yang manusia rencanakan berbeda dengan jalan yang telah Tuhan tentukan.

...

Gadis CadanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang