Bagian 10

3K 518 26
                                    

Yang silent reader, tunjukkan pesona kalian. 😁😁😁✌✌
.
.
.

"Nangis aja, menahan tangis sama saja kayak kita nahan sakit luka. Bukan merasa baikan malah akan semakin sakit." Wira menyodorkan tisu ke depan Ara ketika mereka selesai menghadiri akad nikah Ares dengan Laras. Wira membawa Ara pergi dengan alasan sudah ada janji bertemu dengan rekan bisnisnya.

Wanita yang sedari tadi tetap bergeming menatap ke luar jendela sejak memasuki mobil hingga mereka telah menjauh dari gedung itu mulai menengok ke arah Wira, menatap pria yang baru saja memarkirkan mobilnya itu dengan tatapan menyelidik.

"Bapak kenapa membawa saya ke sana?"

Beruntung Ara tak mendapati ibunya di sana, hingga ia masih bisa bertahan dengan kepura-puraannya hingga semuanya usai.

"Memangnya kenapa? Bukankah itu salah satu hukuman karena kamu mengabaikan pesan saya dan telah kita sepakati tempo hari?"

***

"Maaf, Pak. Saya ketiduran semalam." Ara mengangkat telpon di pagi buta yang ternyata dari sang bos.

Saya akan menerima maaf kamu jika kamu mau membantu saya.

"Tapi, Pak...."

Silahkan pilih, kamu mau membantu saya atau kamu mau mengundurkan diri?

Mata Ara membola, kesalahan kecil yang ia lakukan bisa-bisanya membuat bosnya menjadi semena-mena seperti ini. Tak ada pilihan lain bagi Ara untuk keluar dari situasi ini selain dengan menyetujui untuk membantu Wira. Ini semua ia lakukan karena akan sulit baginya mencari pekerjaan lain jika sampai ia dipecat dari kafe. Ara masih membutuhkan biaya untuk kuliahnya, biarkan ia mencoba bertahan sebentar lagi.

Hingga tak berapa lama, Wira mengirimkan sebuah alamat butik tante Sherly dan menyuruh Ara datang ke tempat itu.

***

Ara menunduk lemas, ia pikir tugasnya telah berakhir kemarin. Tapi ternyata membantu yang Wira maksud adalah hari ini. Apakah masih bisa disebut membantu jika bantuannya malah membuat perasaan gadis itu menjadi tak karuan.

"Bapak enggak bilang kalau saya harus membantu bapak di acara ini. Kenapa Bapak tega?" Ara menyandarkan punggungnya lemas seraya menunduk, hingga sebuah isakan kecil keluar dari bibir merah mudanya.

Wira tak mengira jika hal ini akan terjadi. Pria itu kira Ara gadis yang kuat karena selama beberapa hari mengenalnya, gadis itu tidak pernah sekalipun mengeluh atas sikapnya. Tapi, ia sadar jika Ara tak sekuat yang ia kira. Dibalik sikapnya yang sedari acara dimulai hingga mereka pergi, terlihat baik-baik saja, ternyata hanyalah topeng yang berusaha dia pertahankan.

Wira hanya diam, pria itu memberi kesempatan pada Ara untuk meluapkan perasaannya sejak tadi. Wira pun sebenarnya juga merasa bersalah, namun lagi-lagi pikirannya berdalih untuk menolak minta maaf.

Beberapa lama Wira menunggu gadis itu menangis hingga akhirnya menyisakan senggukan kecil tanpa ada lagi air mata yang keluar. Setelah melihat Ara sedikit lebih tenang, pria itu kemudian kembali melajukan mobilnya tanpa sedikitpun bertanya. Kesunyian kembali mengiringi perjalanan yang entah kemana tujuannya.

Ara mengernyit ketika menyadari yang ia dapati bukanlah arah pulang ke rumahnya, melainkan ke arah tempat yang sangat ia kenal.

"Pak? Kita.... "

"Ya, saya mau menemui klien, akan terlambat kalau mengantar kamu pulang lebih dulu."

Ara mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih lanjut. Terserah apa yang Wira mau sekarang. Biar nanti dia pulang sendiri begitu sampai ke tempat yang mereka tuju.

Tak selang berapa lama, Wira memarkirkan mobilnya kemudian bersiap turun. Ara yang merasa bimbang maaih bergeming di tempatnya duduk. Terlambat, harusnya dia meminta turun sebekum Wira membelokkan kemudinya. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Jika ia ikut turun, bisa dipastikan teman-temannya akan melihat kehadirannya dengan dandanan seperti ini apalagi bersama sang bos dengan jelas.

"Kamu mau tetap di sini?" Wira menaikkan sebelah alisnya.

Ara tak membuka suara, hanya menggelengkan kepalanya ragu.

"Lalu, tunggu apalagi? Turun." Wira membuka pintu mobil kemudian berjalan keluar mendahului Ada memasuki kafe miliknya.

Dengan terpaksa Ara segera keluar menyusul langkah si bos yang terlihat cepat. Gadis itu kira Wira telah meninggalkannya, namun ternyata pria itu menunggunya tak jauh dari pintu masuk.

"Bawakan jas saya ke ruangan, kamu tunggu di sana sampai saya selesai. Ingat, jangan kemana-mana. Urusan kita belum selesai." Wira menyerahkan jas yang telah ia lepas sewaktu berjalan tadi pada Ara kemudian segera berbalik memasuki kafe untuk menemui Pram yang sudah menunggunya di dalam tanpa perlu mendengar jawaban Ara.

Ara mengembuskan napas pelan, gadis itu masih merasa sedikit bingung dengan sikap sang bos. Kali ini urusan mana lagi yang Wira maksud. Tak ingin terlalu lama berada di luar dan memancing perhatian, Ara putuskan untuk segera berjalan menuju ruangan sang bos yang terletak di lantai atas.

***

Entah berapa lama Ara menunggu, hingga saat matanya terbuka matahari sudah begitu condong ke peraduan.

"Sudah bangun?"

Suara Wira membuat kesadaran Ara seketika kembali. Astaga, kenapa bisa dirinya malah tertidur di sofa.

"Ma ... maaf, Pak," cicit Ara merasa tak enak pada bosnya.

"Saya menyuruh kamu menunggu saya, bukan sebaliknya." Wira yang sedari tadi duduk di seberang sofa tempat Ara tertidur nampak melipat kedua tangannya seraya menyandarkan punggungnya dengan mata lurus menatap Ara yang kini menunduk.

Tak lama kemudian sebuah ketukan terdengar disusul pintu yang mulai terbuka. Situasi ini membuat Ara semakin salah tingkah, bagaimana kalau temannya menyadari keberadaannya di sini. Apa yang akan mereka katakan nanti? Gadis itu memilih menundukkan kepalanya dalam berharap orang yang baru saja masuk tak mengenalinya.

"Permisi, Pak. Ini pesanan yang Bapak minta."

Seseorang yang masuk meletakkan satu persatu pesanan yang Wira minta sebelum kembali ke ruangannya.

"Loh, Ara?"

...

Gadis CadanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang