07 : keberangkatan

11 4 0
                                    

2293 kata dan selamat membaca (:

Raga dan kampanye pakai masker

Raga dan kampanye pakai masker

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

Percakapan mengenai dunia baru yang akan Ila dan Dante hadapi selesai pada pukul enam lebih. Awalnya Ila mengira kalau dia akan marah, tidak terima, merasa dibohongi, atau semacamnya. Namun perasaan itu tidak ada. Justru gemuruh di dada yang sudah satu minggu ini bersemayam tiba-tiba lenyap begitu saja. Ila juga tidak memaksakan diri untuk percaya atau tidak percaya. Rasanya ia ingin semua ini mengalir begitu saja. Hanya ada rasa ringan dan tenang yang melayang.

Pukul setengah tujuh, Ila mengepak barang bersama Bunda. Mulai dari pakaian dan barang-barang penting lain yang dia rasa harus dibawa kesana. Padahal Ila pun belum tahu tempat tujuannya kali ini. Tapi dia merasakan sensasi familier di dadanya.

Ayah berkata jika beliau akan mengantar Dante pulang untuk berkemas. Pria itu pun tidak mengatakan hal lebih tentang lyc, beliau hanya berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa komunitas, organisasi, atau endorse yang Dante urus akan baik-baik saja kendati hati laki-laki itu masih tidak tentram. Bagaimana semua akan baik-baik saja? batin Dante gelisah. Dante pikir dia seharusnya menyerahkan surat pengunduran diri lebih lama dan memberi tahu jika dia ingin berhenti bekerja. Tapi surat-surat pengunduran diri yang sudah dia siapkan file-nya masih utuh belum tercetak dengan keterangan terakhir kali diubah tiga hari yang lalu.

"Om, tapi saya belum mengundurkan diri. Rencananya saya ingin menyerahkan surat-surat pengunduran diri sehabis Ila ulang tahun ini," kata Dante mengatakan kecemasannya saat ia dan Dwija berada di depan pintu rumah. Gagang sebuah koper besar tergenggam erat dalam tangan Dante. "Soal Papa saya belum cerita apa-apa."

"Kamu nggak usah khawatir. File-nya dikirim aja ke surel Om. Nanti biar Om sama Tante yang ngasih ke organisasi atau komunitas kamu sama ke tempat kamu endorse. Kalau soal Papa itu kayaknya lebih gampang."

"Om percaya banget." Dante menatap Dwija, ekspresi cowok itu kelihatan ketir-ketir. "Nanti saya bikin Om sama Tante susah kalau seperti ini."

"Nggak juga. Ada banyak sebenarnya yang mau Om lakukan dan menyerahkan surat-surat itu mungkin bisa sambil jalan kan?" Tawa renyah Dwija terdengar. "Jangan terlalu diambil pusing. Jalanin aja sesuai alurnya."

Dante membasahi kerongkongannya dengan menelan ludah. Sejauh ini dia merasa lebih oke setelah berbicara dengan Dwija dan Lova beberapa hari terakhir. Kali ini dia juga harus percaya pada dua orang tengah baya itu.

"Apa kita bisa berkirim surat?"

"Bisa. Nanti kamu percayakan sama Rosé. Asal punya stok dupa banyak, semua bisa jalan."

Dante menarik sudut bibirnya menanggapi. Melihat raut menyenangkan dari wajah Dwija membuat Dante selalu iri. Ila memiliki segalanya, sedangkan Dante hanya punya Ila. Cowok itu tersenyum kecut. Dia mencoba membuang jauh-jauh pikiran seperti itu karena sekuat apapun dia tidak menerima, ini adalah takdir yang digariskan untuknya.

Betul kata Ayah, ikuti saja alurnya.

Tidak lama mereka sampai juga di depan mobil Dwija yang terparkir di depan garasi dan siap mengantar mereka kembali ke rumah pria itu untuk bertemu Jiwa dan Raga lagi. Dante memasukkan kopernya ke dalam bagasi lalu duduk di kursi penumpang. Perjalanan malam itu tidak begitu senyap karena selain jalanan yang masih ramai, Dwija tidak berhenti menenangkan Dante agar anak laki-laki itu tidak perlu membebani pikirannya dengan hal yang tidak seharusnya dipikirkan. Sesekali Dwija menerangkan beberapa fakta tentang dunia yang akan Dante hadapi. Lalu yang terakhir saat mobil mereka mencapai kompleks perumahan.

PRUDENCEWhere stories live. Discover now