7. we were like 'together'

2.7K 517 88
                                    

Sepuluh menit berlalu, namun tak ada yang memulai percakapan. Jean sibuk mengamati keadaan sekitar, dan Draco sibuk merangkai kalimat apa yang harus diucapkannya karena dia yang mengajak gadis itu kesini.

"Jadi.."

"Jadi.."

Mereka berucap bersamaan ketika mulai jenuh. Jean tersenyum, "Kau saja." Katanya mempersilahkan.

Draco menggeleng. "Tidak, wanita lebih dulu."

"Aku hanya ingin bertanya apa yang ingin kau katakan hingga mengajakku kemari."

Draco mendengus. Berbicara dihadapan orang yang kau cintai memang tak pernah mudah. Terutama jika orang itu tak tahu tentang perasaanmu. "Bagaimana hubunganmu dengan pemuda ceria itu?"

Jean mengernyitkan dahi."Pemuda..? oh, maksudmu Grayson?" dia tertawa. Pemuda ceria, ya tidak salah memang. Grayson memang terlihat selalu disuntik semangat setiap harinya. "Uhm, baik-baik saja.. kurasa? Memangnya-"

"Jean, kita dulu seperti.. bersama." Potong Draco cepat.

"Apa..?" gadis itu memastikan baik-baik jika dia tak salah dengar. Bersama? Bersama, seperti.. bersama?

Jean tertawa, sedikit canggung. "Maaf, aku tak mengerti maksudmu."

"Aku dulu mencintaimu. Kurasa aku 'masih'."

Ucapan Draco barusan benar-benar tidak pernah dibayangkan oleh Jean. Maksudnya, apakah.. ya ampun, Jean tak bisa berpikir dengan baik sejujurnya. Dia butuh mengingat masa lalunya sekarang juga. Dia ingin tahu apa yang pernah terjadi antara dirinya dan Draco.

"Kau tidak harus mengingat kita yang dulu. Yang kau butuhkan hanya kita yang sekarang." Draco mencoba meyakinkan gadis itu.

"Tidak.." Jean tertawa sumbang. "Aku butuh ingat. Aku ingin ingat." Katanya tegas. Tanpa sadar gadis itu telah mengeluarkan air mata hanya karena dia tidak bisa mengingat apapun. Dia ingin ingat.

"Jean.." Draco bersuara, lemah. Melihat Jean menangis tak pernah tertulis dalam daftar keinginannya.

Buru-buru gadis itu mengusap air matanya. Dia tidak suka terlihat lemah. "Aku baik-baik saja." Katanya sambil tersenyum. "Aku hanya.." dia menarik napas. Tidak bisa bohong memang, dadanya masih sakit. Seperti dihimpit sesuatu tak terlihat, membuatnya sesak.

"Aku hanya ingin ingat." Jean tersenyum, tapi matanya kembali meluncurkan setetes air yang tak diharapkannya. "Apa kau tahu rasanya hidup dengan keterbatasan memori? Apa kau tahu rasanya hidup dengan bayang-bayang masa lalu yang tidak pernah kau ingat? Apa kau tahu rasanya hidup seperti dikutuk?" gadis itu masih tersenyum di tangisnya.

Draco menarik napasnya. Tak tahu harus bagaimana, tidak mungkin juga dia mengaku kalau dia yang menyebabkan gadis itu menderita bertahun-tahun seperti ini.

"Aku tidak bisa." Jean kemudian membereskan semua barang bawaannya dan berdiri. "Aku tidak bisa memulai apa yang tidak kuingat." Dia berjalan keluar kafe dan meninggalkan Draco.

Mobilnya terasa begitu jauh dari jangkauannya. Jean menghapus airmatanya dengan susah payah karena dia membawa kantung belanjaan. Gadis itu membuka bagasi dan menaruh belanjaannya dengan sembarangan dan kemudian dia kembali menutup pintu bagasinya.

Jean diam sejenak. Dia kemudian kembali merasakan sesak itu lagi. Mimpinya itu, mungkin adalah ingatan. Perempuan itu menarik napas. Berusaha menahan, tapi sia-sia. Dia berjongkok, menutupi wajahnya dengan lutut. Tangisnya begitu sakit dalam diam.

Dia ingin ingat.

*****

"Jean?" Grayson buru-buru menghampiri perempuan berambut cokelat terang itu ketika melihat wajahnya yang sembab. Laki-laki itu langsung mengambil alih tubuh Jean ke pelukannya dan gadis itu kembali menangis.

Entah apa yang dipikirkan Jean. Setelah bertemu Draco, dia tidak berkendara pulang ke apartemennya. Dia malah menuju ke rumah Grayson. Memang jaraknya tak begitu jauh dari apartemennya., Jean hanya butuh seseorang.

"Gray.." Jean meracau dalam tangisnya. Bertahun-tahun dia hidup berdampingan dengan ketidak-ingatannya, baru kali ini dia merasakan betapa sakit kehilangan memori. Jean meremas jaket Grayson, berusaha menyalurkan kesakitannya tapi tentu sia-sia.

Grayson mengelus rambut halus Jean. "Shhh.." laki-laki itu mencoba menenangkan. "Menangislah." Laki-laki itu berbisik pelan. "Tapi jangan pernah menangis sendirian lagi."

Deja vu.

Jean terdiam, dia ingat seseorang pernah mengatakan hal yang sama padanya. Tapi siapa?

"Kau sudah tenang?" Grayson menatap Jean tanpa melepas pelukannya. "Bagaimana jika kita masuk? Ibuku membuat teh, orang Inggris terkenal menyukai teh, kan?" tanyanya sambil tersenyum.

Jean tertawa kecil. Dia menghapus air matanya sebelum akhirnya mengikuti Grayson untuk masuk kedalam.

"Oh, Jean.." Mrs. Thompson tersenyum menyambut gadis yang sudah tak asing baginya itu. Dia memeluk Jean hangat. "Aku merindukanmu." Katanya.

"Aku yakin Jean juga merindukanmu, Mom. Dia tak pernah merindukanku." Kata Grayson sambil memakan kue kering.

Jean memutar bola matanya. "Kita bertemu hampir setiap hari."

Mrs. Thompson tertawa. Dia tentu menyadari wajah sembab Jean karena setiap gadis itu berkunjung, hanya wajah ceria yang dibawanya. Namun wanita itu hanya diam, memutuskan untuk tak bertanya karena dia juga pernah muda.

"Grayson, berikan tehnya pada Jean." Mrs. Thompson menunjuk teh di meja makan dengan gestur kepala. Sebagai anak baik, Grayson tentu menurut perintah ibunya.

"You like tea?" tanya Grayson, menyerahkan ketel teh di depan Jean.

Gadis itu benar-benar tidak paham cara Grayson memperlakukan tamu. Bagaimana bisa dia memberikan ketel teh pada tamu, dan bukan gelasnya?

"Tea?" tanya Jean, menyindir.

"You dont like tea?" laki-laki itu malah balik bertanya, bingung. Bukankah orang-orang Inggris menyukai teh?

"I dont like you." Jean memutar bola matanya. Suara tawa Mrs. Thompson terdengar menggema ke seluruh penuju ruangan. Seperti puas sekali melihat ekspresi anak bungsunya.

"Thats a good one, honey." Puji wanita itu pada Jean.

Grayson kemudian menaruh ketel teh di meja dan duduk di sebelah Jean. "Ow, that hurts." Katanya sarkastik. "Mom, sebenarnya siapa yang kebetulan menjadi anakmu disini?" tanyanya dengan memutar bola mata kesal.

Mrs. Thompson menaikkan kedua alisnya. "Oh, karena kedua kakakmu sudah laki-laki, jadi sebenarnya aku berharap Jean adalah anakku." Katanya enteng. "Sekarang lebih baik kau ambil gelas daripada merajuk seperti anak kecil."

Dengan mencibir, Grayson kembali berdiri dan mengambil tiga gelas.

"Sorry, she loves me too much." Kata Jean sok manis ketika Grayson sudah kembali di sebelahnya.

"Yeah, cant blame her. You're amazing." Cibir Grayson sambil menuang teh.

Sambil menerima segelas teh, Jean tertawa. "I am."

*****

sp bisa tebak namaku?

btw, aku ga mencoba 'nyuci otak' kalian, tp coba deh kalian search tentang proculsexual di google

HIRAETH - Draco MalfoyWhere stories live. Discover now