2 - Pak Tua Albert

10 2 0
                                    

Ibu Atlas mengangguk mendengarkan perkataan Atlas sambil terus memakan sup yang ada di mangkuk. 

"Tapi, kau harus sedikit berhati-hati dengannya."

Atlas memasang raut wajah penasaran mendengar peringatan ibunya.

"Memang kenapa bu?"

"Aku dengar, petualang itu lumayan pemarah, dan sering mabuk di rumahnya."

Atlas hanya menunjukan jempolnya yang berarti ia mengerti perkataan ibunya.

Beberapa saat setelah itu, terjadi keheningan antara Atlas dan ibunya. Lalu berakhirlah makan pada malam hari itu. Atlas kemudian beranjak dan menawarkan diri untuk membersihkan piring bekas makan dia dan ibunya.

Ibunya hanya meng-iyakan sambil menuju ke kamar.

Atlas pun pergi ke belakang rumah yang terdapat sebuah sumur untuk membersihkan gerabah bekas makan. Ia memandang langit malam. Lalu, pandangannya terkunci pada sungai yang berada cukup jauh dari rumahnya. 

"Di sana, rumah Pak Tua Albert tinggal. Besok aku harus mengunjunginya."

Untung saja besok ibunya mendapat jatah libur, sehingga ia bisa meninggalkan kawanan dombanya sejenak dan pergi berkunjung ke rumah pensiunan petualang tersebut.

Setelah selesai, Atlas lalu kembali ke dalam rumah dan mendapati kalau rumahnya sudah sepi. Ibunya kemungkinan sudah kembali ke kamar dan sudah tidur.

Kamar Atlas sendiri masih terlihat alami dengan batu-batu alam yang ditumpuk menjadi sebuah tembok. Ia lalu tidur dengan beralaskan kasur yang tipis.

--o--

Slashhh

Aaaaarghh

Tolong aku...

Atlas terbangun dengan keringat yang membasahi tubuhnya.

"Sial, aku bermimpi buruk..."

Ia bermimpi pada saat terakhir hidupnya, dimana banyak raungan orang meminta pertolongan dan pengampunan. Orang-orang pun berakhir mati secara mengenaskan dan dirinya sendiri juga mati setelah tertusuk oleh pedang.

Cahaya matahari masuk melalui celah-celah tembok yang tidak rapat, menandakan bahwa hari sudah pagi. Atlas menyeka keringatnya dan beranjak dari tempatnya.

"Ah, kau sudah bangun rupanya."

"Cepat mandi dan sarapan dahulu." 

Ibunya yang sudah bangun lebih awal menyapanya. Atlas hanya mengangguk dan segera menuju ke belakang untuk membersihkan tubuhnya lalu segera sarapan.

Tak butuh waktu lama untuknya untuk menyelesaikan hal itu. Ia kemudian segera melakukan rutinitas yang ia biasa lakukan, seperti membersihkan kamar dan rumahnya.

"Ibu, aku pergi dulu. Titip domba-domba." seru Atlas kepada ibunya. 

Ibu Atlas pun membalasnya dengan lambaian tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang keranjang berisi pakaian yang akan dijemur.

Atlas kemudian menyusuri padang rumput, menuju rumah petualang tersebut. Sepanjang perjalanannya, ia bertemu dengan wajah-wajah warga desa yang cukup familiar baginya. Namun, ada juga wajah yang ia telah lupakan.

Ia lalu berhenti sejenak di tepian sungai untuk mengambil air minum. Tak jauh dari tempatnya, Atlas melihat sebuah pancingan yang disandarkan di sebuah batu. Tali pancingnya nampak bergetar seperti ada ikan yang memakan umpan.

Atlas menolehkan kepalanya untuk mencari pemilik pancingan tersebut, namun ia tidak bisa menemukannya.

"Apa boleh buat, sayang sekali jika lepas."

Atlas the LegendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang