Kebangkitan Penyihir Hitam

319 63 64
                                    

Sebuah mansion megah di tepian pulau tampak berpendar merah. Hampir seluruh sisi temboknya terbias sinar bulan yang malam ini tengah berdarah. Selain itu, kebetulan di altar lantai satu mansion tersebut sedang berlangsung sebuah pesta. Berbeda dengan dekorasi pesta pada umumnya, di setiap relung gelap altarnya dipenuhi patung-patung manusia dengan wajah membeku dalam amarah. Pada masing-masing kepalanya terdapat tanduk layaknya kerbau, dengan kedua mata melotot memancarkan sinar merah.

Di singgasana ujung ruang, duduklah sosok laki-laki paruh baya dengan jubah hitam menjuntai di pundaknya. Sisi kanan dan kirinya terdapat perapian dengan api bergemeretak. Ia sedang memandang tajam ke sebuah meja besar di tengah altar. Dua ratus sosok yang juga mengenakan jubah hitam sepertinya sudah mengelilingi meja itu. Sang lelaki bangkit, melangkah tegap mendekati meja besar tersebut, yang di atasnya terlentang seorang gadis berkepang dua.

Si gadis meronta, mencoba melepaskan tali yang mengikat kedua tangan dan kakinya. Ia tak tahu apa yang telah direncanakan orang-orang di sekelilingnya. Kedua mata gadis itu ditutup, dan kini kain penutup itu telah basah oleh air matanya. Derap langkah sepatu yang mendekat membuat gadis itu semakin berontak. Ia ingin berteriak, tapi seseorang telah menyumpal mulutnya.

Kini si lelaki tersenyum licik di hadapan tubuh gadis yang sudah tidak memiliki perlindungan apa pun. Lantas, mengeluarkan belati dari balik jubahnya. Ia menggenggam kuat pegangan belati itu dan diangkat hingga melewati kepalanya.

Semua orang di sekeliling meja kemudian merapalkan mantra. Sulur-sulur sihir hitam bermunculan, meliuk-liuk, dan merayap ke atas tubuh si gadis. Atmosfer di altar itu menggelap bersamaan dengan suara mantra yang semakin keras.

Riuh.

Redam.

Hilang.

Jeritan si gadis sudah tidak terdengar. Cairan merah mengalir dari atas meja. Jatuh menciptakan percikan di lantai marmer altar yang hitam.

Sang lelaki mencabut belati tajamnya dari dàda si gadis. Kemudian, seorang wanita berambut merah mendekat dan menyerahkan sebuah gelas padanya. Gelas yang seharusnya berisi anggur merah pun beberapa detik kemudian penuh oleh darah segar.

Seolah tak terganggu dengan bau anyir, lelaki itu tersenyum puas setelah mengendus segelas darah di tangan kanannya. Tanpa ragu, ia menempelkan bibirnya pada bibir gelas dan meneguk cairan merah pekat itu hingga tak tersisa. Hening, sebelum akhirnya sang lelaki mengangkat gelas di tangannya dan semua yang di dalam ruangan bersorak.

"Hidup Yurza!"

"Hidup Yurza!"

"Hidup Aaron Kinsey!"

Merekalah Yurza, sekelompok manusia yang haus kekuasaan dan sangat mempercayai ramalan. Aaron Kinsey adalah pemimpinnya. Ritual yang harus dipimpin oleh pemimpin Yurza ini adalah yang mengawali perjanjian mereka dengan Raja Iblis.

Pemimpin ritual akan mendapatkan kemampuan sihir yang hebat. Sementara mereka yang ikut dalam ritual ini, juga akan memiliki kemampuan sihir tetapi tidak sehebat pemimpinnya. Semakin banyak darah remaja suku Albara usia 19 tahun yang mereka persembahkan di saat gerhana bulan, maka Raja Iblis akan menjadikan kemampuan sihir mereka semakin tinggi dan tentu saja agenda-agenda akan cepat tercapai.

Aaron Kinsey merentangkan kedua tangannya untuk menghalau sulur-sulur sihir hitam yang bermunculan semakin banyak di ruangan altar. Sulur-sulur itu pun menggulung-gulung, membentuk menara awan hitam yang tinggi hingga tak terlihat ujungnya. Beberapa menit kemudian, perubahan mulai terjadi. Diawali langit yang menggelap karena gumpalan awan hitam berarak menutupi seluruh langit di dunia. Beberapa negara tak sadar karena pekatnya membaur dengan malam. Manusia berhamburan karena pijakannya tiba-tiba bergetar, luluh lantak dalam bencana besar yang menenggelamkan peradaban maju dan sebagian populasi manusia di bumi.

Negara-negara collapse! Mereka saling merangkul hingga berinisiatif menggabungkan diri. Kerajaan-kerajaan baru pun terbentuk. Tetapi tetap tidak mampu mengatasi kelaparan, kemiskinan, dan wabah penyakit yang merebak.

Di tengah kekalutan yang terjadi, Yurza yang selama ini hanya mengawasi dari balik tabir kegelapan, kemudian muncul bak pahlawan. Mereka menawarkan bantuan dan sesuatu yang menyembuhkan. Meski begitu, syaratnya tidaklah mudah. Yurza ingin apa pun teknologi mesin yang tersisa harus dihancurkan. Para teknisi dan ahli mesin pun diburu kemudian dilenyapkan hingga tak ada lagi yang tersisa.

Manusia-manusia mulai menentukan pilihan hidupnya. Mereka yang tidak ingin terus menerus menderita dalam kemiskinan, tentu saja memilih bergabung di bawah kekuasaan Yurza, meski selanjutnya mereka harus meminum cairan khusus sehingga mereka berubah menjadi seorang penyihir. Sementara mereka yang menolak bantuan Yurza, tetap hidup miskin dan tertinggal. Revolusi tak terhindarkan, hingga dunia didesain hanya memiliki satu mata uang dan satu bahasa.

Yurza semakin memperluas pengaruhnya hingga menguasai kerajaan-kerajaan di belahan bumi bagian barat, dengan seorang Penyihir Agung sebagai pemimpinnya. Sementara kerajaan-kerajaan di belahan timur yang dilindungi oleh bangsa kesatria, memilih menolak bergabung di bawah kendali sihir Yurza dan bertahan dalam keterbatasan.

Sisi kontras gelap dan terang kehidupan semakin jelas terlihat, dan dua sisi itu terpisahkan oleh lautan yang sangat luas yakni samudra Erion. Tak berhenti sampai di situ saja. Yurza yang sangat menjunjung tinggi ramalan, rela melakukan ramalan apa saja demi menembus batas itu. Saking sibuknya dengan ramalan, mereka melupakan satu hal.

Bukankah ramalan belum tentu benar?

***

Bleeding FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang