Tato itu untukku? Lalu kenapa ia menunjukkannya pada Sisca dengan senyum semringah? Kenapa tak ia tunjukkan padaku lebih dulu?

“Kamu mengabaikanku. Bahkan ketika aku mencoba menunjukkannya padamu.”

“Aku melakukannya?”

Ia mengangguk. “Kamu sibuk dengan cowok baru, setelah Pete. Entah siapa namanya. Yang punya dandanan rambut ala film mandarin dan senantiasa ke kampus dengan tas ransel warna cerah."

Aku mengernyitkan dahi. Apa ada cowok seperti itu yang kudekati? Kenapa aku tak ingat? 

“Aku nyaris menunjukkan segala cara untuk memberitahumu bahwa aku jatuh cinta padamu. Baik dengan perhatian maupun ungkapan. Nyatanya, semua itu tak mempan. Tato kompas itu kubuat karena akhirnya aku menyadari bahwa perasaan cinta sepihak ini sesat. Bahwa apa kurasakan padamu adalah sebuah kesalahan. Bahwa, yeah, kamu benar. Hubungan kita nggak lebih dari sahabat.” Ada nada putus asa dalam kalimat Bae. Ia mengangkat bahu, pasrah.

“Melupakanmu itu susah, Zoya. Apalagi ketika hampir setiap hari kita ketemu, dan kamu semakin … cantik."

“Lalu kamu buat tato itu.” Kali ini aku yang menunjuk tato di dada sebelah kiri. 'N’abandonnez pas, jangan menyerah.

“Untuk menyemangati diriku sendiri, agar aku mampu melupakanmu.”

“Lalu Sisca hadir dalam hidupmu dan kamu jatuh cinta padanya?”

Bae kembali menyugar rambutnya yang masih basah. “Apa yang bisa dilakukan pria yang berkali-kali cintanya ditolak selain mencoba untuk bisa move-on?” Ia tertawa sinis.

“Sisca yang kasihan. Anak rantau, yatim piatu, sering sakit-sakitan. Aku ingin melindunginya.” Ia berujar lirih. 
Aku menelan ludah, kembali mengingat mendiang Sisca. 
Perempuan kalem tak banyak tingkah, yang sedari kecil sudah ditinggal orang tua karena sebuah kecelakaan tragis. Aku tahu bahwa jantung Sisca memang bermasalah sejak dulu. Dan keadaan jantungnya memburuk setahun sebelum ia pergi untuk selamanya.

“Sisca perempuan yang baik. Ketika tahu hatiku hancur karena dirimu, ia menyambutku, menawarkan cerita baru. Bahkan ketika aku tak bisa menjanjikan cinta untuknya, ia tak keberatan. She needed me.”

Menceritakan tentang Sisca berikut kebaikan-kebaikannya, ada sebersit cemburu mengusik hati. 
Tak bisa dipungkiri, Sisca memang perempuan luar biasa.
Dan yang jelas, perempuan itu mampu membuat Bae menjadi sosok yang lebih baik. Aku ingat bahwa sejak mengenal Sisca, ia jarang pergi ke diskotik, jarang ikut pesta, jarang terlibat keributan dan baku hantam. Beda sekali ketika ia bersamaku. 

“Perempuan baik yang mampu menjadikanmu lebih baik,” ucapku getir. “Kamu aman bersamanya, Bae,” lanjutku. “Kamu nggak perlu terlibat keributan dan membahayakan nyawamu, kamu nggak perlu baku hantam, yeah, seperti ketika kamu bersamaku.”

Tiba-tiba saja aku ingin pulang.

“Aku nggak sanggup melanjutkan pembicaraan ini, Bae. Aku mau pulang.” Aku beranjak dan berniat mengambil tasku. Namun gerakan itu urung ketika Bae keburu menarik lenganku. Kaget, reflek aku menyentakkan tangannya. Tindakan ini justru membuat pria itu kembali mencengkeram tanganku lalu menarik diriku ke arahnya.

Ini terlalu dekat. Kedua tanganku bahkan menyentuh dadanya yang telanjang.

“Sebenarnya ada apa denganmu?!” Ia tampak emosi. “Kamu memintaku berbicara tentang masa lalu dan aku melakukannya. Dan sekarang tiba-tiba kamu ingin pulang, begitu saja. Sebenarnya maumu apa?!”

Sexy BaeWhere stories live. Discover now