Disentuhnya lagi dadanya yang masih berdebar. Sialan! Seharusnya ia tidak boleh begini.

Oh, hati, ku mohon jangan terus seperti ini. Dia milik Kakakku. batin Eliza yang terus menanamkan kata-kata itu setiap kali mengingat sosok Evanz.

*****

Setelah selesai siaran yang menguras waktu hampir dua jam lebih, Eliza tidak langsung memutuskan pulang melainkan datang berkunjung ke cafe milik kakaknya, Elyaz.

Begitu sampai Eliza di sambut hangat oleh salah satu pelayan yang bekerja di cafe milik kakaknya.

Namanya Jordan, pria yang cukup tampan dan terkenal sangat ramah itu saat ini tersenyum hangat menyapa Eliza.

"Hai, sudah lama tak kemari," sapa Jordan.

"Iya nih, lagi sibuk." sahut Eliza balas tersenyum.

Jordan menarik kursi dan menyuruh Eliza untuk duduk, namun dengan cepat Eliza tolak.

"Aku ingin menemui Mbak Elyaz, apakah dia ada di ruangannya?"

"Ada," Jordan mengangguk.

"Baiklah, aku kesana dulu ya, dan ...." Eliza mendekatkan bibirnya ke telinga Jordan. "Aku akan membantu pekerjaanmu, oke." bisik Eliza yang tak lama melesat pergi dengan cepat.

Jordan tersenyum menatap sosok Eliza yang selama ini memang terbiasa membantu pekerjaannya dengan menyamar sebagai seorang pelayan juga. Tentu saja sebelumnya Eliza sudah meminta izin pada sang Kakak, Elyaz, sehingga ia bebas melakukan hal apapun selama di cafe.

Elyaz yang masih sibuk menyuapi putrinya makan terkejut melihat sosok Eliza yang datang ke cafenya.

"Tante!" pekik Elara berseru senang menyambut kedatangan Eliza.

"Hei," Eliza mendaratkan kecupan di pipi keponakannya.

"Pasti tadi belum sarapan ya?" tebak Eliza yang diangguki Ara dengan wajah polosnya dan itu terlihat sangat menggemaskan. Eliza pun mencubit gemas pipi Ara.

"Tumben kamu kemari Dek setelah sekian lamanya tak kesini. Ada apa?" sapa Elyaz.

"Gak ada Mbak, hanya ingin berkunjung dan bermain saja."

"Ini cafe Dek, bukan taman bermain-awhh!" Elyaz meringis merasakan bahunya dicubit oleh Eliza, "sakit Dek!"

"Habis ngomongnya iseng banget," cibir Eliza membrengut kesal.

Elyaz terkekeh seraya berujar, "pergi sana gih bantuin kerjaan Jordan dan yang lainnya. Tuh bocah dari kemarin-kemarin nanyain kamu mulu kenapa gak pernah datang lagi ke cafe."

"Siapa?"

"Jordan."

"Serius dia nanyain aku?" tanya Eliza tak percaya dengan pendengarannya.

Elyaz mengangguk, "setiap hari malah nanyain kamu terus."

"Ah, gak mungkin."

"Yaudah sih kalau gak percaya," tukas Elyaz tak acuh pada Eliza yang ngeyel diberitahu.

"Kayaknya si Jordan kangen berat deh sama kamu Dek. Eh, upsss!" Elyaz cepat-cepat membungkam mulutnya ketika Eliza menatapnya dengan sorotan kesal.

Eliza memang tidak suka jika kakaknya berbicara seolah-olah menjodoh-jodohkan dirinya dengan Jordan. Bagi Eliza, Jordan itu sudah seperti teman baiknya. Hanya sebatas itu, tidak lebih dan tidak kurang.

"Canda Dek."

"Hmm, aku dan Jordan hanya temanan saja Mbak. Kami berteman baik, jadi tidak mungkin-"

"Tidak mungkin apa?" sela Elyaz.

"Tidak ada. Uhm, yaudah kalau gitu Mbak. Liza mau ganti baju dulu bantuin Jordan dan yang lainnya."

"Okelah, lakukan sepuasmu saja." kekeh Elyaz mengangguk.

"Dadah Ara sayang," pamit Eliza mengecup puncak kepala Elara sebelum melangkah pergi dari ruangan sang kakak.

Eliza mengganti pakaiannya tadi dengan pakaian khusus pelayan, Eliza juga menguncir rambutnya yang hitam berbentuk ekor kuda. Dirasa sudah merasa puas Eliza segera bergabung bersama Jordan dan yang lainnya.

Eliza benar-benar menikmat waktunya saat ini, benar-benar momen yang sangat ia rindukan. Suasana cafe yang ramai semakin membuat Eliza semangat, ah, dia begitu suka mengantarkan pesanan dari meja ke meja yang lainnya.

Entah kenapa, pekerjaan seperti ini yang malah disukai Eliza. Walaupun tak dipungkiri kerap kali ada pelanggan yang genit datang ke cafe ini. Kalau sudah begitu, maka biasanya Eliza akan meminta bantuan pada Jordan. Alhasil Eliza sering mengantarkan pesanan ke pelanggan wanita saja, hal itu ia lakukan untuk menghindari lelaki genit dan mata keranjang.

"Eliza, tolong antarkan pesanan ini ke meja nomor duabelas, bisa?" seru Tiva, salah satu pelayan yang juga bekerja di cafe ini.

"Bisa!" Eliza mengangguk seraya mengambil alih nampan dari tangan Tiva.

"Meja nomor duabelas kan?"

"Iya, pelanggan ini meminta dirimu untuk mengantarkan pesanannya. Bahkan Tuan tampan itu tahu namamu loh, Li."

"Apa?!" pekik Eliza kaget, "kenapa bisa begitu?" Tiva mengendikkan kedua bahunya.

"Sepertinya pria itu mengenalmu," seru Tiva sembari menepuk pelan bahu Eliza. "Tapi, tenang saja, pria ini sangat tampan kok Li."

"Huffh," Eliza menghela nafas dan mempersiapkan dirinya sambil dalam hati merapalkan doa, 'semoga saja bukan lelaki genit'

Ya, semoga saja!

Tbc....

Love it's you (Ekslusif Di Dreame) Where stories live. Discover now