Aku menghambur masuk ke pelukan bundaku, demi kami bahkan dia rela pindah dari rumah kami yang lama. Padahal di sana penuh kenangannya bersama mendiang ayahku.

"Terima kasih ya, Bun."

"Aku juga mau dipeluk dong, Tante."

Tunggu dulu! Ada yang salah, aku duduk menatap bunda dan Bang Abi yang sudah duduk di depanku.

"Kok kalian bisa akrab? Bang Abi kok tahu Bunda pindah ke sini? Sejak kapan hubungan kalian bisa sedekat ini?"

"Aku tahu kamu pengacara, tapi jangan perlakukan kami seperti terdakwa di pengadilan. Ok!"

Bunda tertawa melihat Bang Abi yang menatapku lucu.

"Bukan begitu, tapi bukankah kalian tidak saling kenal sebelumnya. Bahkan juga baru sekali ketemu waktu menjenguk Bunda di rumah sakit."

"Nggak sopan kamu, Abi yang bantu Bunda cari rumah ini dan mengurus semuanya."

"Ck, aku tanya sejak kapan kalian jadi sedekat ini, kok malah membahas soal rumah. Nggak nyambung, Bun!"

"Bodo ah, repot ngomong sama kamu kalau mode pengacaranya lagi on gitu. Bunda mau lihat Cello dulu, masih kangen sama cucuku."

Aku mengernyit menatap pria yang masih cengengesan duduk di depanku. Sumpah! Aku penasaran apa yang sudah terjadi setelah kejadian menjenguk di rumah sakit waktu itu.

"Matanya biasa aja kali Sha, ngelihatnya jangan kayak lagi introgasi penjahat begitu dong."

Aku berdecih pelan, dia sengaja berbelit belit untuk membuatku semakin kesal.

"Setelah kamu balik ke London waktu itu, aku memang sengaja beberapa kali mengunjungi bundamu. Cuma ingin memastikan keadaannya baik baik saja. Biarpun ada pembantu, tapi bundamu belum benar benar pulih. Aku hanya khawatir."

Aku diam membeku, kata katanya seperti telak menampar wajahku. Bahkan aku yang anak kandung satu satunya justru pergi sejauh itu.

Seharusnya aku yang di samping bunda dan menjaganya, bukannya malah dia yang hanya orang lain bagi kami.

"Harus banget ya Bang Abi perhatian sampai segitunya?"

"Karena dia bundamu dan nenek dari Celloku. Maaf kalau sudah bikin kamu tidak nyaman."

Aku mengusap wajahku pelan, bingung harus ngomong apa. Dari dulu laki laki ini sudah terlalu baik pada kami, aku hanya tak ingin lebih banyak lagi berhutang budi padanya.

"Bang Abi tidak perlu merasa kasihan pada kami."

"Heii ... kenapa kamu berpikiran begitu? Kalian adalah wanita wanita yang hebat, tidak perlu belas kasihan dari orang lain, apalagi dariku."

"Tapi Bang, Bang Abi juga punya kehidupan sendiri. Jangan sampai karena sikap Abang pada kami yang terlalu baik, justru akan membuat keluarga Bang Abi tidak suka."

"Apalagi Cello, aku merasa kalian terlalu dekat. Aku tidak ingin anakku berharap lebih. Aku takut dia melihat keberadaan Bang Abi sebagai sosok ayah yang selama ini tidak pernah dia miliki. Ini salah."

Laki laki yang sejak tadi diam mendengarkan aku bicara itu kini tampak menghela nafas panjang.
Mata tajamnya menatapku penuh perhitungan.

"Kamu keberatan aku dekat dengan Cello?"

Aku menggeleng keras, bukan itu maksudku.

"Aku sudah menyukai Cello sejak pertama ketemu kalian di bandara setahun yang lalu. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa."

"Keberadaan Cello ataupun kalian sama sekali tidak mengganggu hidupku. Justru aku akan sangat kehilangan kalau kamu berusaha menjauhkan Cello dariku. Jadi bolehkah aku tetap berada dekat di sampingnya?"

KARMA (Tamat)Where stories live. Discover now