Cello juga selalu merajuk kalau Om Abinya sulit untuk dihubungi. Aku hanya takut Cello melampiaskan kerinduannya akan sosok ayah yang tak pernah dia miliki pada laki laki ini. Itu jelas salah.

Selama di perjalanan pulang mereka masih tetap saling menempel dan tak berhenti berceloteh. Ada saja yang mereka bahas, mulai dari soal basket, piano, kartun atau game. Sesekali tangan Bang Abi mengusap pelan kepala Cello yang sedang terbaring nyaman berbantal pahanya.

Aku menghela nafas saat mataku terasa mulai memanas. Apa yang aku lihat di depanku sekarang, seperti menyadarkanku kenapa Cello begitu menyukai Bang Abi.

Lihatlah! Anakku seperti menemukan sosok seorang ayah pada diri laki laki ini.

Aku tahu, seberapapun keras usahaku untuk menjadi seorang ibu sekaligus ayah untuknya, tetap tidak akan bisa mengganti arti kehadiran ayah yang tidak pernah bisa dia miliki.

Aku menoleh menatap ke luar jendela saat air mataku mengalir begitu saja. Ini sangat menyakitkan, aku seperti tertampar kenyataan yang baru saja aku sadari.

Bolehkah mereka sedekat ini? Bang Abi jelas punya kehidupannya sendiri dan aku tak ingin anakku akan jadi sumber ketidaknyamanannya suatu saat nanti.

"Tunggu dulu! Ini bukan arah jalan ke rumahku."

Aku bingung saat mobil yang kami tumpangi melaju ke jalan yang berbeda dengan arah rumah kami. Apakah sopir Bang Abi salah jalan?

"Benar kok! Ini memang arah jalan ke rumah Tante Ambar, bundamu."

Aku menoleh menatap bingung laki laki ini, tapi raut wajahnya biasa saja seperti memang tidak ada yang salah.

"Bukan! Bang Abi lupa ya rumahku di mana?"

Aneh, dia hanya tersenyum sambil mengedikkan bahunya tidak peduli. Aku semakin bingung lagi saat mobil kami memasuki gerbang masuk sebuah komplek perumahan mewah.

"Kita mau mampir ke rumah siapa, Bang?"

"Ke rumah kamu lah."

Aku merengut kesal, badanku sudah luar biasa capek dan dia malah sengaja membuatku jengkel.

"Ayo turun, Tante Ambar sudah menunggu dari tadi!"

Tanpa menunggu jawabanku, Bang Abi membopong tubuh Cello yang sudah tertidur pulas. Aku melangkah pelan mengikutinya dari belakang memasuki teras rumah ini.

"Sampai rumah juga kalian, ayo masuk!"

"Bunda, kok Bunda ada di sini?! Ini rumah siapa?"

"Ya rumah kita lah, masa iya rumahnya Abi. Lucu kamu, masuk!"

Aku mengikuti mereka masuk. Mungkin aku terlalu lelah, otakku masih belum bisa mencerna maksud perkataan mereka.

"Cello tidurkan saja di kamarnya, Bi!"

Aku masih seperti orang dungu yang hanya diam duduk di sofa memperhatikan mereka yang mondar mandir memindahkan barang barang bawaanku.

"Bun, ini rumah siapa?"

Bunda menonyor kepalaku pelan, lalu duduk di sampingku.

"Rumah kita, Bunda membelinya dua bulan yang lalu."

"Haa ...?!"

"Ck, kamu jangan kayak orang bego yang nggak mudeng diajak ngomong. Ini rumah kamu, rumah kita, Sha."

"Bunda beli rumah dan pindahan kok nggak bilang bilang, bikin aku celingukan kayak orang bodoh saja."

"Bunda sengaja beli rumah ini supaya kamu sama Cello nyaman tinggal di sini. Dan lagi keamanan di sini terjamin, kita tidak perlu khawatir dengan keberadaan Cello."

KARMA (Tamat)Where stories live. Discover now