1' Laki-laki yang Terjebak

76 9 0
                                    

Shelin tidak lupa meraih masker sebelum keluar dari kamar. Malam itu, ia kehabisan pena sementara tugasnya belum selesai ia kerjakan dan batas waktu pengirimannya tiga jam mendatang. Alhasil ia memutuskan untuk membeli pena sebelum waktu semakin larut.

“Bunda, aku keluar bentar,” pamit Shelin setelah berhasil menemukan keberadaan bunda di ruang keluarga.

“Kemana?”

“Beli pena. Ada tugas darurat.”

“Hati-hati, langsung pulang.”

Pukul tujuh malam jalanan mulai lengang. Sebenarnya tidak sesepi dua atau tiga jam mendatang, tapi jauh lebih ramai saat menjelang siang hingga sore hari. Setidaknya, waktu-waktu saat ini masih menunjukkan situasi aman.

Di luar, bulan dalam fase sempurna. Cahayanya kuning remang-remang dengan membawa udara sejuk. Shelin tidak memakai jaket, hanya kaos berlengan pendek karena ia suka saat angin purnama menembus pori-pori kulitnya tanpa perantara. Lalu ia akan bergidik kedinginan dan napasnya keluar sebagai gumpalan kabut kecil yang kemudian memudar di bawah cahaya lampu bercampur cahaya bulan.

“Shelin!”

Seruan itu terdengar setelah Shelin melewati dua rumah tetangganya. Suaranya berasal dari arah kiri atas tempatnya melangkah.

“Mau kemana?” Seseorang itu sedikit berteriak dari balkon lantai dua rumahnya.

Shelin menunjuk ujung jalan. “Beli pena,” jawabnya.

“Aku ikut, boleh?”

Shelin mengangguk sebagai isyarat sambil menunggu seseorang itu masuk ke kamarnya, memakai masker, menuruni tangga, berpamitan pada orang tuanya, hingga akhirnya muncullah batang hidungnya di pelataran rumah.

Sampai di minimarket dua puluh empat jam di ujung jalan, Shelin mengambil apa yang ia perlukan. Ia memang sudah sejak dari rumah berniat membeli banyak pena untuk persediaan.

“Mau sekalian beli sesuatu?” tanya Shelin pada Zio, seseorang yang sedari tadi mengekor di belakangnya.

Laki-laki itu menggeleng. “Kamu selalu pakai pena ini.” Maksud Zio adalah Shelin selalu memakai merk dan model pena yang sama. Ia memang suka mengamati, tidak jarang pula mengekor Shelin, jadi ia tahu.

That’s look comfortable, majayo?” Zio nyengir setelah keceplosan memakai bahasa koreanya. Shelin tertawa kecil. Entahlah, baginya reaksi Zio sendiri lucu saat kosakata korea terkadang nyangkut di antara kalimatnya.

“Iya, tulisanku jadi lebih rapi kalau pakai pena ini. Tapi itu menurutku aja,” kata Shelin sambil menuju kasir.

“Tulisan tanganmu memang bagus.”

“Makasih.” Itulah sebabnya Shelin diberi jabatan sebagai sekretaris kelas.

Setiap hari, Zio belajar bersama Shelin. Laki-laki berdarah asli Korea itu, Shelin menyebutnya seseorang yang terjebak pandemi setelah liburan. Kira-kira dua bulan yang lalu, Zio bersama kedua orang tuanya dan kakak laki-lakinya datang ke Indonesia untuk liburan sekaligus mengunjungi bibinya yang enam bulan lalu menikah dengan warga setempat.

Sayangnya, jadwal penerbangan untuk kepulangan keluarga kecil itu benar-benar harus ditunda sebab bersamaan dengan edaran bahwa pemerintah telah menghentikan seluruh operasional penerbangan langsung dari Indonesia menuju beberapa negara tertentu, Korea Selatan salah satunya.

Pemerintah telah mengeluarkan izin tinggal keadaan terpaksa kepada WNA mengingat adanya wabah Coronavirus Disease 2019 atau COVID-19. Izin tinggal itu akan diperpanjang sampai pandemi telah dinyatakan berakhir dan ada transportasi yang tersedia untuk meninggalkan Indonesia. Alhasil, Zio sekeluarga tetap tinggal di kediaman bibinya sampai batas waktu yang belum ditentukan.

Bye My First [END]Where stories live. Discover now