Prolog

188 16 2
                                    

Ia menarik gagang pintu pelahan. Pegangan besinya yang berlapis semburat warna keemas-emasan, menghantarkan sensasi dingin ke permukaan tangan. Tubuh mungilnya lalu condong ke depan, mendorong papan panil berpelitur coklat tersebut agar mau terbuka lebar. Ia tidak membutuhkan usaha berlebih meski tinggi pintu yang didorongnya berukuran nyaris dua kali lipat dari tinggi tubuhnya.

Hawa dingin yang menguar dari pendingin ruangan, gegas menyambut begitu ia dan beberapa orang di belakangnya melangkahkan kaki memasuki kamar. Mereka dikepung aroma harum dengan wewangian floral segar yang mencucuk hidung.

Interior ruangan terasa begitu mewah. Di tengah-tengah terhampar karpet Persia tebal, yang mampu meredam detak sepatu mereka ketika melintas tepat di atasnya. Karpet tersebut diapit oleh dua sofa dengan bantalan kepala kayu berukir dan meja berlapis marmer di salah satu sisi. Juga gorden dengan nuansa keemas-emasan menyentuh langit-langit lalu menjuntai hingga ke lantai.

Seseorang di belakangnya menyibak gorden tersebut. Memunculkan panorama menakjubkan dari balik jendela kaca besar dengan ukuran nyaris selebar ruangan. Cahaya matahari berebut masuk, mengembara cepat di udara sebelum menyalurkan kehangatan ketika menyentuh permukaan kulit.

Bertepatan dengan itu, ia membuka pintu menuju kamar utama.

Di atas ranjang besar di tengah ruangan, terdapat sesosok tubuh yang terkulai. Menelungkup dengan kaki yang menjuntai hingga ke bawah ranjang, serta wajah yang terbenam di atas bantal. Salah satu sepatunya terlepas, terserak tidak jauh dari tempatnya berada. Lelehan merah pekat menyatu kontras dengan sprei dan gaun berwarna putih. Darah.

Sedetik kemudian, ia menjerit. Disusul oleh jeritan-jeritan lain di belakangnya yang bernada sama. 

On Her Wedding DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang