bab 12

2 1 0
                                    

Berubah lah Anisa, kau masih punya waktu untuk memberperbaiki kesalahan yang telah kau perbuat terutama terhadap kedua orangtua kau, Anisa. Hahaha....

"Tidaak, suara itu dari mana... Abak, Anisa takut. Anisa belum siap mati, Abak. " ucap Anisa seketika setelah mendengar suara yang berdenging di telinganya membuat ia semakin menangis.

Lagi dan lagi Jimmy sang penyelamat mendengar tangisan Anisa semakin kesini, semakin histeris. Jimmy tidak memperdulikan kondisi fisiknya yang tengah lelah, yang ia lakukan sekarang adalah kenyamanan Anisa.

"Kamu kenapa menangis lagi Anisa? Ada apa, apa yang membuat kamu menjadi seperti ini Anisa, untung saja masyarakat di sekitar sini tidak mendengar jeritan kamu,"

"Uda tolong Anisa, Anisa sudah banyak salah dengan amak dan Abak. Anisa ingin balik ke pesantren. Anisa anak durhaka, Anisa tidak mendengarkan kata Abak, Anisa gak mau mati sebelum Anisa minta maaf dengan Abak, tolong antarkan Anisa Uda." Anisa berubah menjadi anak kecil yang meminta pertolongan kepada sang kakak.

Jimmy tidak tega melihat Anisa seperti ini, harus merelakan kesibukannya kali ini untuk Anisa. Namun, ia akan bertanya sekali lagi untuk meyakinkan hati Anisa, "Saya akan mengantarkan kamu, dan menjadi supir pribadi kamu hari ini. Apa kamu sudah benar-benar yakin untuk pulang ketempat asal kamu Anisa?"

" Anisa yakin, Uda. Anisa ingin meminta maaf kepada Amak dan abak. Anisa lelah di hantui rasa bersalah terus, Uda. Anisa mohon dengan uda, cuma Uda yang Nisa kenal, Nisa sudah gak punya teman lagi selain Uda."

"Baiklah kalau begitu, dengan satu syarat setidaknya kamu lapisi baju kamu yang kurang bahan itu dengan baju kaos panjang, saya juga tidak ingin berdosa hanya melihat kamu, Anisa."

Anisa tidak kenal dengan yang namanya basa basi lagi, ia lebih memilih kemeja panjang milik Jimmy dibanding baju kaos berlengan panjang itu. Ia sudah tidak ada kata untuk membantah seluruh perkataan Jimmy, tenaganya sudah habis ia gunakan untuk berlari dari kejaran polisi.

Anisa duduk di samping kursi pengemudi, mencoba menata hatinya dan menguatkan hatinya untuk bertemu dengan Abak dan Amak. Apapun kondisinya nanti, ia siap menerima konsekuensi dari Abak. Jimmy yang iba melihat kondisi Anisa memilih jalan tikus agar waktu tempuh untuk kepesantren tidak membutuhkan durasi yang lama.

Dari kejauhan, memasuki wilayah pesantren di simpang jalan, telah ada ibu-ibu dan warga setempat yang menghadang mobilnya. "Kenapa coba aku bisa lupa bahwa mobil ini transparan, pasti mereka telah melihat Anisa," gerutu Jimmy menjadi panik dikarenakan tak ada jalan lain untuk memasuki pesantren.

Benar saja, warga itu telah mengepung jalan akses mereka, Anisa sadar akan itu tampak ketakutan. Hanya tinggal hitungan

Satu...
Dua...
Tiga...
Empat...
Lima...

"Keluar kau anisa, keluar kau dari mobil ini sekarang, atau akan kami hancurkan seluruhnya!" sorak salah satu warga

Anisa sudah tak ada pilihan lain, dalam hatinya " ya tuhan apa kenapa begitu banyak cobaan yang kau berikan ketika aku ingin berubah tuhan, jika hidupku hanya sampai disini saja, maafkan aku tuhan." Anisa berakhir mengikuti perintah warga sana yang tak lain tak bukan salah satu dari mereka ialah keluarga besar Anisa.

"Dasar anak durhaka, ngapain lagi kau kembali kesini?"

"Kau anak pembawa sial, pembawa dampak negatif, kami tidak ingin kau berada di sini. Kami tidak ingin anak-anak kami terpengaruh dengan ulah kau, Anisa."

"Kau anak gak tau diri, kau biang penyebab Amak kau meninggal. Masih sanggup juga kau memijakkan kaki kau di nagari ko, Anisa?"

"Sudahlah, kau hanya cocok jadi sampah masyarakat, kami tidak menerima kau di sini anisa."

Begitu perih hujatan yang Anisa dapatkan, ia tak mampu menahan air matanya lagi, mereka telah melempari Anisa dengan berbagai macam jenis batu, bahkan ada yang dengan sengaja menggoreskan pisau ke tubuh Anisa. Ia sudah tidak perduli lagi dengan lumuran darah yang ada di badannya. Bagi Anisa yang terpenting sekarang, ia harus bisa menerobos kerumunan warga. Bukan hanya sekali dua kali, ketika Anisa ingin berlari, ada saja perlakuan kasar yang ia peroleh.

Anisa di tendang berkali-kali oleh salah seorang masyarakat yang tak terima karena ulahnya, pesantren menjadi kehilangan sosok terbaik.

"Dasar...anak binatang, sudahlah tinggal saja kau di hutan, kapan perlu kau mendekam mati di penjara, tempat kau bukan disini, Anisa."

Anisa hanya terduduk, menahan sakit dan luka sayatan ditubuhnya. Jimmy yang sedari tadi melihat Anisa diperlakukan seperti binatang tak kuasa menahan amarahnya kepada warga, kini ia harus membawa Anisa lari dari kerumunan warga.

Jimmy yang tahu bahwa Anisa tak mampu berjalan, ia dengan sigapnya memapah bahkan menggendong Anisa agar cepat terhindar dari kerumunan warna, bahkan ia harus menginjak rem mobil dengan kecepatan tinggi agar Anisa selamat.

"Sakit....Nisa gak udah gak kuat lagi, Amak maafkan, Nisa. Nisa gak tahu kalau Amak udah gak ada lagi." rintihan Anisa berurai air mata.




Losing an Angel (Complete)Where stories live. Discover now