bab 5

8 3 1
                                    

Malam ini menjadi malam yang paling menyakitkan bagi Anisa. Tidak seperti malam-malam sebelumnya. Menyenangkan berkumpul dengan teman-teman Anisa. Ruang berukuran bisa dikatakan cukup kecil menjadi tempat tepekur paling menyedihkan. Gelap-gulita, tak ada satupun penerangan yang masuk malam ini.  Saat masa kecil Anisa, ia tahu pasti bahwa tempat ini menjadi tempat tersuram bagi para santri-santriwati membuat kesalahan fatal. 

Terlihat dari ujung bolong pintu terdengar hentakan-hentakan kaki para pelajar kelihatannya sedang bergembira, entah apa yang mereka pikirkan, mungkin dikarenakan terbebas dari tugas. Sadar akan kesalahan yang di perbuat, itu tidak akan. Hanya amarah yang ia kendalikan. Kecoa, Tikus telah menjadi teman dikala gelap datang.  kemelut amarah itu semakin membesar, rasa dendam kepada orang yang telah melaporkan keberadaannya. Hati Anisa cukup berkecamuk lihat saja, aku bakal cari kau sampai dapat, karena kau, aku jadi terkukung disini.

Sayup-sayup suara terdengar jelas dari dalam. Kedengarannya para santriwati itu telah tahu keadaan sebenarnya. Mereka tak luput ikut nimbrung saling bertanya bagaimana bisa seorang putri kyai di kurung di tempat yang amat menyeramkan. "Kamu gak tahu saja, padahal berita itu sudah viral satu pesantren," ucap perempuan berkerudung putih itu sedang membicarakan Anisa kepada teman-temannya yang lain.
"Kasian banget pak kyai ya, anak udah di didik agama tapi gak tahu diri. Yang aku ingat nih ya, dia itu dulunya rajin, penurut dengan perintah kyai. Tapi kenapa sekarang perubahannya begitu cepat ya? Gak mungkinkan seorang pimpinan pesantren salah mendidik putrinya sendiri,"

"Eh, tadi aku sempat nguping pembicaraan pak kyai dengan Uda Satria, dengar-dengar nih ya, Anisa itu nanti mau di sidang sendiri oleh pak kyai."

Anisa terbelalak kaget mendengar percakapan santriwati itu. Tidak menyangka abak bakal menghukum putrinya sendiri. Di lihatnya wajah, pakaiannya yang nampak kusam, teringat dengan teman dan kekasihnya. Berharap suatu saat jika aku bisa kabur lagi mereka akan tetap menerimaku kembali. Satu-persatu dia teringat nama seseorang dengan samar yang telah disebutkan mereka. Muka Anisa memerah, nafas sudah naik turun, keringat telah bercucuran berjalan mondar mandir. Hatinya bergetar apa jangan-jangan dia yang memberitahu abak. Lihat saja kau nanti, jika aku bertemu dengan kau, lihat pembalasanku nanti.

***
Siapa sih yang tidak takut dengan persidangan di setiap kesalahan fatal dalam lingkungan pesantren? Pastinya tidak akan ada yang berkutik. Raut wajah-wajah cemas, ketakutan ataupun campur aduk bagi setiap santri. Entah apa yang di pikiran mereka tentang sebuah persidangan fatal. Ada yang diam-diam sibuk sendirian, duduk di pojokan meratapi jika seandainya ia yang berada di posisi tersebut. Tidak semudah yang dibayangkan, lika-liku kehidupan di pesantren kebanyakan dari mereka mengatakan seram namun memberikan pelajaran yang sangat berharga.

Persidangan atau pemberian hukuman bagi siapa saja yang merusak bahkan mencemari nama baik pesantren sekali pun itu anak dari pimpinan pesantren. Terasa hawa dingin menyerap tubuh, termasuk seluruh santri. Tampaknya mereka sangat penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya. Namun, kali ini persidangan itu di lakukan secara tertutup. Hanya ada keluarga inti dan orang kepercayaan pak kyai yang ikut menyaksikan serta mengadili putri tunggal pimpinan Pesantren Thawalib.

***
Bunyi suara cekrek pintu terdengar berharap itu satu anugerah terbesar bagi Anisa, ia yakin peluang untuk melarikan diri sekali lagi pasti berhasil. Apa yang ia bayangkan ternyata salah. Suara kaki itu semakin mendekat, temaram lampu sedikit menyinari ruangan kecil itu. Bunyi tongkat seakan dapat meregang nyawa kali itu juga. Abak, tampaknya omongan gerombolan santriwati tadi benar.   Apa yang harus aku lakukan? Heru, Shinta tolong aku batinnya terusik, denyup jantung seakan terdengar keras. Hanya tinggal hitungan mundur saja, lima empat tiga dua...satu

"Anisa....," pekik Abak dengan suara tegas
"Seret dia ke ruang keluarga sekarang juga!"
Anisa terbelalak tak mampu untuk menolak. Batinnya meronta, kenapa bisa mendapatkan perlakuan kejam seperti ini.  Tempat ini sangat kejam.

 Plakk

Anisa menengadah kesakitan, tangannya memegangi pipi telah memerah. "Abak jahat! Nisa kecewa sama Abak, Sudah cukup Anisa diperlakukan seperti ini bak. Nisa bukan anak kecil lagi yang perlu Abak atur sesuka hati Abak," ucap Anisa dengan sesegukan. Ia begitu menangis. Tak ada satupun yang membelanya.
"Anak gak tau diri! Buat malu keluarga kau Nisa, sejak kapan kau menggunakan barang haram itu? Abak tidak mengajarkan kau menjadi wanita seperti itu! Ini apa lagi, rambut di cat warna warni, mano kerudung yang dulu kau perlihatkan ka Abak, Nisa?"

Diam dan diam. Ia menatap sekeliling rumah, Amak dan satu pria yang entahlah mungkin sebagai penghasut di keluarga ini. Amak sama aja dengan Abak. Tak ada niat sedikit pun untuk membela. Kebencian itu semakin membesar, sudah tak ada lagi rasa kasih sayang. Amarah dan amarah terus menggeluti pikiran dan hati Anisa.

"Kerudung kata Abak? sudah Nisa buang! Anisa gak butuh itu, Anisa butuh Kebebasan, bukan seperti ini yang Anisa harapkan!"

Amak tak kuasa mendengar apa yang di ucapkan Anisa, tangis menyelimuti keluarga itu. Ruangan kembali berubah menjadi panas, hawa dingin pada rumah gadang telah tiada. Tak ada yang mampu  mengatasi keributan keduanya, hingga seluruh santri terbangun dari tidur lelapnya.

"Dasar Anak Durhaka! Abak tak menganggap kau lagi menjadi bagian keluargaku. Aku malu punya anak seperti kau!"

"Gitu mau Abak, Jangan sampai menyesal. Anisa pergi!" Menghempas pintu lalu ia tak sengaja menatap pria itu dengan tatapan tajam mengenaskan. Di kanan kiri tau jauh dari rumah utama banyak yang tidak menyangkal bahwa perilaku anak seorang kyai telah berubah drastis, kendati demikian mereka semakin bertanya-tanya apa yang terjadi sesungguhnya, tak ada satupun yang berani melintasi rumah gadang milik pimpinan pesantren. Semuanya telah berubah menjadi senyam, hanya temaram lampu menerangi area pesantren.


Losing an Angel (Complete)Where stories live. Discover now