Bab 1

116 33 61
                                    

"Abak kecewa samo kau, Anisa. Abak lah maajakan kau agamo, mangaji, baa kok jadi pecandu kau Anisa, kau lah buek malu abak, Abak ko kapalo pesantren. Dima utak kau Anisa. Abak nio kau pulang," seru lelaki paruh baya itu.
Anisa tengah mendengar telepon dari Abaknya, ia tidak menjawab satu patah kata pun perkataan Abaknya. Malah ponsel yang tengah dipegang dilemparkan begitu saja.

Prak!

Masih terekam di pikiran Anisa, begitu tegas sang Ayah kepadanya. Namun, tiada serang pun yang bisa menghalangi perbuatan Anisa, termasuk amak dan abaknya di rumah yang terasa bagai penjara baginya--- Pesantren Thawalib.

Berada di kamar bisa dibilang tidak sebanding dengan kamarnya yang dulu, namun Anisa merasakan kebebasan. Anisa dikenal sebagai anak pimpinan pondok Pesantren Thawalib yang letaknya tak jauh dari kota Bukittinggi.

Setelah perseteruan Abak dengan Anisa, ia tampak seperti orang stress, badannya lemah, tangannya gemetar dan bibirnya pucat pasi. Anisa meringkuk dengan balutan selimut. Berupaya menggeledah meja yang terletak tidak jauh dari tempat tidur. Di panggilnya Sinta, teman satu kostannya.
"Sinta, kemarilah." teriaknya dari dalam kamar.
"Iyo, sebentar!" tegas Sinta yang tengah duduk di depan teras menunggu tamu istimewanya.

Tak lama kemudian, Sinta berjalan masuk ke kamar. Matanya terpelanga melihat Anisa lemah tidak berdaya. Mukanya pucat pasi seperti orang yang akan meninggal.

"Kenapa lagi kau ini? Pasti kau habis menerima telepon dari abakmu di pesantren! Sudahku bilang, baik tidak usah kau angkat telepon dari abakmu lagi. Sudahlah, jangan kau terpengaruh kata-kata abakmu. Aku lihat kau sebelum menerima telepon tadi, kau masih kelihatan sehat dan ceria. Apa yang dibilang abak kau hingga kau jadi seperti ini lagi ?"

"Sudahlah, Abak menyuruhku pulang ke pesantren. Aku tidak mau berada di penjara itu! Sinilah, aku butuh barang itu sekarang. Nanti kuganti uang kau. Belikan dulu, atau kau punya serap satu ? Badanku sudah tidak enak." Menatap Sinta dengan penuh harap.

Sinta tidak berkutik, ia sibuk mencari barang bagus itu di laci-laci meja yang berantakan. Sudah bergabung semua isinya terdiri dari jam,handphone, kunci, kretek. Namun, sepertinya barang tersebut sudah habis dan sementara Anto, teman yang biasa membawakan barang bagus itu belum datang.

"Maaf, Nisa. Kita harus menunggu Anton kembali, tidur saja kau dulu !"

"Iyo, gak apa -apa." ucapnya lirih.
****
Hawa sejuk dipelataran kos tak jauh dari persimpangan jalan Cempaka Raya menjadi tempat istirahat dan berteduh untuk Anisa dan temannya.  Alunan suling berbunyi di iringi kicauan burung. Pertanda waktu senja sudah mendekat, namun tanda-tanda Anton sama sekali belum kelihatan.

Kondisi Anisa terlihat semakin lemas, iya begitulah. Sebagai pecandu kelas berat, ia tidak pernah putus dari barang haram tersebut. Jauh dan tidak menkonsumsinya saja memberikan efek lemas di tubuh pemakai.  Tak lama, Anton berjalan mengendap-endap, matanya siaga melihat kanan-kiri untuk bisa masuk ke pelataran kos.
Kebiasaan orang Bukittinggi, jika sudah memasuki waktu senja. Seketika Susana berubah menjadi kuburan, tak ada satupun yang berani untuk keluar rumah. Itulah merupakan didikan keras dari para ninik buyut, petuah orang tua.

Anton sudah berada di dalam kosan yang jauh dari lingkungan warga, nyamuk, dan hawa sejuk telah menjadi santapan mereka sehari-hari.

"Sini, mana dia barang itu? Aku sudah tidak kuat lagi," seru Anisa dengan kelihaian mengeluarkan barang haram ini. 

Dikeluarkannya satu dari bungkusan hitam seperti bola-bola. Kemudian, bungkusan itu masih terbungkus kertas alumunium putih. dibukanya secara perlahan, lalu nampaklah serbuk seperti kapur putih. Anisa membuka bungkus rokok,membuka kertas timah yang lantas telah berubah menjadi  paperty - lembaran timah berukuran tipis. Setelahnya, ia mencomot satu lembar uang kertas dari meja, lalu membentuknya seperti bong, terlihat seperti orang yang akan merokok.

Seusai mengolahnya, dengan sudut kartu ia mencubit whitedust serbuk putih yang terletak di meja, dikaisnya sekitar 0,0001-0,0002 gray. Lalu dibakarnya timah yang telah berisikan serbuk putih, kendati demikian timah itu mengeluarkan asap putih, asap putih itulah yang disedot Anisa lalu meluncur masuk ke tenggorokan, leher dan hidung.

Bisa dikatakan, barang itu cepat bereaksi, Anisa yang awalnya terlihat lunglai dan lesu kini kondisinya kembali stabil. Tak hanya Anisa yang memakainya, Sinta dan Anton tak kalah cukup lihai memakainya dengan cara  draggy .

Tak selang waktu lama, Sinta yang masih terbawa suasana fly akibat DO, mempertanyakan permasalahan yang ditimpa Anisa. Sementara Anton, sibuk dengan barang barunya.

***
Di teras depan, pelataran ruangan teras yang berada di kawasan pesantren Thawalib. Duduklah sepasang suami istri paruh baya itu, berbincang sesekali disapa oleh santri-santriwati pesantren.

Pak Kyai Estan Jamaris dan Ibu Hastuti tengah berbincang serius. Namun, jika teringat dengan anaknya Anisa, nada susra kyai Estan Jamaris berubah.

"Mak, bagaimanalah nasib Anisa itu? Pergi dari rumah tak kunjung pulang, bikin emosi Abak saja dia," tukas Abak .

" Iyo, Bak. Bagaimana respon Anisa saat Abak menelponnya tadi? Lai Ado dijawab Anisa ? Amak heran dengan anak itu, keras kepala. Maunya kemauan dia saja yang harus dituruti. Padahal tidak bagus."

"Sudahlah, Mak. Tidak usah kita urus anak itu, sudah capek Abak melihat tingkah lakunya. Dia hanya pandai berlawanan saja sama Abak. Entah masih ada kerudung dikepalanya atau pun tidak. kini, yang abak takutkan pandangan masyarakat disini bagaimana, malunya Abak memiliki anak tapi tidak bisa didik. Sedangkan santri dan santriwati saja takut dengan Abak."

Abak, terlahir dari didikan keras terutama saat mendidik Anisa. Telah lama ia menimang-nimang Anisa. Kejadian tahun 2004 itu sangat dirindukannya. Anisa kecil berlari memakai kerudung, cantik, sifatnya elok rupa dan sholehah. Matanya nanar, membayangkan sosok kerinduan kepada Anisa kecil yang kini telah berubah drastis. Sifatnya tak lagi sama, penuh amarah dan berlawanan. Dipandanginya foto Anisa kecil yang tengah tersenyum saat menerima hadiah piala juara mengaji di pesantren. Hatinya bergetar,"ya sudahlah Anisa, Abak sudah tak tau gimana cara mengajarimu lagi. Kau sudah besar sekarang, yang abak rindukan saat kau masih bisa di didik dan diberikan amanah."

Suasana malam yang gelap gulita, di Pesantren Thawalib melakukan pengajian bersama. Namun, kali ini pimpinan pondok Pesantren Thawalib tidak mengikuti agenda rutin. Ia hanya duduk termenung di teras rumah utama. Sayup-sayup alunan khas suara mengaji terdengar di telinga Kyai Estan Jamaris. Begitu juga dengan Ibu hastuti, hanya bisa duduk termenung mengingat kondisi putrinya yang tidak tahu keberadaannya. 

Amak dan Abak panggilan dari santriwati dan santri Pesantren Thawalib. Tidak ada satu pun yang mengetahui permasalahan yang ada dikeluarga ini, semuanya dikubur Abak dalam-dalam. Hingga Abak bisa berhasil membawa Anisa pulang dan kembali ke pesantren nantinya.

Losing an Angel (Complete)Where stories live. Discover now