Paman Doblo Merobek Layang-Layang

286 12 2
                                    

Paman Doblo Merobek Layang-Layang

Karya: Ahmad Tohari


Setelah melihat burung-burung kuntul terbang beriringan ke timur, saya dan Simin sadar hari hampir senja. Maka, saya dan Simin mulai mengumpulkan kerbau-kerbau dan menggiring mereka pulang. Simin melompat ke punggung si Paing, kerbaunya yang paling besar tanpa melepaskan wayang rumput yang sedang dianyamnya. Saya naik si Dungkul, kerbau saya yang bertanduk lengkung ke bawah. Di atas punggung kerbaunya, Simin meneruskan kegemarannya menganyam wayang rumput. Sambil duduk terangguk-angguk oleh langkah si Paing, Simin tetap asyik dengan kegemarannya.

Dari hutan jati tempat kami menggembala kerbau, terlihat kampung kami jauh di seberang hamparan sawah yang kelabu karena jerami mengering setelah panen. Tampak juga pohon bungur besar yang tumbuh di tepi sungai yang setiap hari kami perangi. Sekelompok burung jalak melintas di atas kepala kami. Sambil terbang, burung-burung itu berkicau dengan suara jernih dan sangat enak didengar. Belalang beterbangan ketika kerbau kami melintas rumpun jerami.

Sampai ke tepi sungai, saya melihat Paman Doblo sedang mandi berendam. Saya turun dari punggung Si Dungkul dan melepas celana. Simin juga. Wayang rumput yang sudah sudah berbentuk sosok Wisanggeni, tokoh pahlawan kebanggaan Simin, diletakkan bersama celananya di tanah. Dan, kerbau-kerbau itu sudah lebih dulu masuk ke air dengan suara berdeburan. Sebelum menyeberang, kerbau-kerbau memang harus berendam. Itu kebiasaan mereka yang tak mungkin diubah. Kami juga mandi. Ternak dan penggembala berkubang bersama. Langau-langau beterbangan di atas kepala kerbau dan kepala kami juga.

Simin mulai pamer kepandaian main kunclungan. Kedua tangannya menepuk-nepuk air menimbulkan irama rebana yang amat enak didengar. Saya mengimbanginya dengan mengayun tangan dalam air sehingga terdengar suara mirip gendang. Plung-plung pak, plung-plung byur, plung pak-pak-pak, plung-plung-plung byur. Dan, permainan musik air kian gayeng karena Paman Doblo bergabung. Meskipun sudah perjaka dia suka bermain bersama kami. Dia sangat akrab dengan anak-anak.

Puas bermain, saya menggiring kerbau-kerbau menyeberang. Saya tidak naik ke punggung Si Dungkul, tetapi berenang sambil menggandul ekornya. Keasyikan menggandul di buntut kerbau melintas sungai dalam adalah pengalaman yang tak pernah saya lewatkan. Sampaij di seberang, saya menengok ke belakang. Saya lihat Simin sedang jengkel karena Si Paing tak mau bangkit. Binatang itu agaknya masih ingin berlama-lama berendam. Simin makin jengkel. Dia naik ke darat. Sebatang pohon singkong diambilnya. Saya tahu Simin benar-benar marah dan siap memukul Si Paing. Namun, sebelum Simin melaksanakan niat, terdengar suara yang mencegahnya.

"Jangan Min," kata Paman Doblo dengan senyumnya yang sangat disukai anak-anak. "SI Paing memang suka ngadat. Bila kamu ingin dia bangkit, kamu tak perlu memukulnya. Cukuplah kamu kili-kili teteknya. Hayo, cobalah."

Simin mengangguk. Dia mendekati kerbaunya yang tetap asyik berendam. Nasihat Paman Doblo memang manjur. Ketika merasa ada rangsangan pada teteknya, kerbau Simin melonjak, lalu cepat-cepat berenang menyeberang. Simin tertawa, tetapi tangannya segera menyambar ekor Si Paing. Maka, dia terbawa ke seberang tanpa mengeluarkan tenaga kecuali untuk tawanya yang ruah.

"Untung ada Paman Doblo, ya," bisik Simin di telinga saya. "Kalau tidak, barangkali saya tak bisa pulang sampai hari gelap. Paman Doblo memang baik dan banyak akal."

Ya, untung ada Paman Doblo. Ungkapan ini tidak hanya sekali-dua diucapkan oleh anak-anak seperti saya dan Simin. Orang-orang tua di kampung kami juga sering mengucapkan kata-kata itu karena Paman Doblo memang banyak jasa. Ketika ada celeng masuk dan menggegerkan kampung, hanya Paman Doblo yang bisa mengatasi masalah. Dengan sebatang kayu pemukul, Paman Doblo berhasil melumpuhkan babi hutan itu. Pencuri juga enggan masuk kampung kami karena – demikian keyakinan kami – mereka takut berhadapan dengan Paman Doblo yang dipercaya mahir bermain silat. Ketika Bibi Liyah tercebut ke sumur, sementara orang-orang panik dan berlarian mencari tangga, Paman Doblo langsung terjun dan mengangkat Bibi Liyah sehingga dia tidak terlambat diselamatkan.

Cerpen SastrawanWhere stories live. Discover now