Kau Bersama Purnama Ketika Bulan Belum Purnama

1.3K 32 4
                                    

Kau Bersama Purnama Ketika Bulan Belum Purnama
Karya : Mismawati

Aku pernah melewati tiga puluh purnama bersama Kyai.  Malam dengan sorot yang terpancar dari langit. Memantul pada guratan wajahnya. Sebintik tahi lalat dekat telinga. Alis yang tebal.  Di lembah hidung berjejer rambut tipis membentuk garis melengkung. Dan bibir yang tak pernah tersentuh batang rokok, wajarlah warnanya ranum. Tiba-tiba darahku tersirap.  Kualihkan perhatian pada amplop putih pemberian Kyai tadi.  Isinya uang tengepik. Uang yang akan kutinggalkan bersamaan dengan surat yang akan kutulis buat keluargaku. Nantinya uang dan surat itu menjadi pertanda dan bukti bahwa aku telah nyakak. Dilarikan si bujang calon suami. Dan selanjutnya prosesi pernikahan akan dilaksanakan di rumah orang tua Kyai.

Malam purnama yang kesekian kali, aku duduk bersama di kursi taman depan rumah.  Di bawah pohon jambu yang berbuah lebat. Sesekali putik sari bunga jambu terjun dari dahan. Mendarat ke bagian mukaku.  Saat tidak beruntung, buah jambu berjatuhan tepat di kepala dan di pangkuan kami. Tapi, kami tak segera beranjak. Ada kesepakatan yang belum terucap. Tak ada keberanian untuk menyetujui ajakan Kyai. Juga, tak kuasa menolak untuk dinikahinya. Tapi syaratnya aku harus kawin lari.

Malam berlari tanpa letih.  Aku tak ingin segera bergegas.  Ingin melambatkan detak waktu. Entah mengapa aku takut jika esok pagi akan segera tiba.

“Benarkah kita akan segera menikah?” Aku mencoba beretorika. Tiba-tiba hatiku bagai kaca pecah. Aku ingin membangun kepercayaanku sendiri. Meyakinkan bahwa keputusan ini sudah bulat. Namun, isi dadaku padat oleh beban yang tiba-tiba menindih. Padahal seharusnya aku bahagia.

Diraihnya jemariku. Ini pertama kali kami bersentuhan. Puluhan kali kami bercengkrama di bawah pohon jambu. Kami hanya duduk-duduk saja. Kadang sama-sama termenung sampai waktunya Emak memanggilku masuk rumah. Suatu saat bercanda riang tertawa-tawa.

“Maafkan, Kyai,” tangannya menggenggam erat punggung telapak tanganku, “terpaksa jalan ini yang kita tempuh, Rintan.”

“Mengapa kau tak melamarku saja.” Lirihku, takut ia akan tersinggung.

“Bukankah keluargamu tak ingin kita segera menikah?”

Aku menangguk. Memang sesungguhnya aku sudah mengerti. Sungguh pertanyaan tolol. Memaksanya untuk melamarku disaat orang tuaku sama sekali belum memberi lampu hijau. Apak melarang aku menikah sebelum sekolahku selesai. Emak juga ingin calon suamiku mapan lebih dulu, baru pernikahan digelar. Pilihan sangat pelik buat kuselesaikan. Lebih sulit dari soal matematika yang kudapat di bangku sekolah. Kalaulah akhirnya jalan hidupku mesti bersama Kyai, ini sudah takdir. Kemudian kulapangkan perasaanku yang rahasia. ikhlas menjadi istri nelayan.

***

Bulan semakin padat. Cahaya bulan menyusup di antara pohon jambu air. Separuh hinggap pada dahan .Tembus pada jendela kamarku yang sengaja separuh daun kubuka. Di peraduan aku mengadu. Lalu kutulis kata indah untuk kyai* tambatan. Malam ranum bersama bulan. Langit menyimpan riwayat. Masa lajangku di rumah Apak dan Emak akan mencapai finist. Air mataku tak bisa rahasia. Ia lebih dulu mengalir mengkhianati perasaanku yang kutata dengan santun. Agar aku tidak merasa bertambah salah mennggalkan rumah tanpa restu orang tua.

Seperti biasa dia datang dengan detakan suara jari tengah dan ibu jari. Kain sarung berwarna gelap menutup tubuh dibalik remang rembulan.

“Rintan sudah tidurkah, Kau?”, suara lirih sayup-sayup di antara nyanyian belalang malam.

“Kyai , Engkaukah itu?”, Tanyaku menyakinkan.

“Ya, Rintan, apakah tak melihat malam, bahwa rembulan sedang sempurna, purnama, Rintan” jawab Kyai membangun suana.

Cerpen SastrawanWhere stories live. Discover now