🍃第二章ポイント五

623 78 5
                                    

Refleks [Name] berlutut menahan memuntahkan semua makanan yang tadi mengeyangkannya. Dorongan perut mengocok lambung. Tanpa tahu apa yang terjadi, berbagai momen asing merasuki pikirannya. Siapa gerangan gadis berseragam di mimpinya. Rasanya ia akan menangis. Tidak, irisnya sudah bergelinang airmata yang menggantung di pelupuk.

Bariton serak memanggilnya. Senyuman Nemi merutuk setiap sel otaknya, tidak berjeda bahkan setelah ia berusaha lupa. Perasaan janggal semakin menekan, bertumpuk hingga ia meringis kesakitan. Meraung layaknya anjing terluka. [Name] sendiri tidak mengerti mengapa ia menangis. Hanya saja ia sedih. 

Alas futon yang didudukinya bukanlah ranjangnya. Kain lipat tipis itu sudah pasti bukan milik orangtuanya juga. Lebih tepatnya, rumah [Name] tidak pernah menyimpan barang mewah. Leher [Name] menoleh kanan kiri memastikan di mana ia sekarang. Tatami tertata rapi, rak hiasan piring, kipas antik, wewangian menguar sepanjang ruangan. Tunggu, ia mencium harum wisteria.

Belum sempat ia mencari tahu, pintu tiba-tiba terbuka menampakkan sosok lelaki tua berkimono ungu dilengkapi haori putih. Sekilas mirip perempuan. Namun dengan cepat [Name] menyebut, "Tuan Ubuyashiki..." Ia bergegas menutup mulut. "Kok aku asal nyahut aja?!" batinnya kebingungan. Kakek di hadapannya berjalan maju, mengukir senyum sabit.

"Bukan, saya Kiriya Ubuyashiki selaku putra pemimpin. Tuan Kagaya Ubuyashiki yang dulu kau layani sudah lama tewas. Sekiranya anda baru mendapatkan ingatan kembali, apakah ada merasa mual?" tanya Kiriya melirik ke seprai bekasnya tanpa jijik. Alih-alih menghindar, Kiriya memeriksanya. "Obanai Iguro membawamu kemari. Berterima kasihlah padanya jika ada kesempatan."

"T, tunggu..." Ia terbata-bata menandakan betapa paniknya. "Sebenarnya kau siapa? Ubuyashiki siapa? ... aku di mana...?" [Name] yang menaikkan volume suara sampai ikut lemas saking herannya. "Apa yang terjadi...?"

Kiriya mengerjap. "Sepertinya kau belum ingat secara jelas," balasnya menekankan kata terakhir.

Hancur sudah akal sehatnya. Ia tidak mengerti maksud ucapan Kiriya. "..." (Y/N) terdiam begitu tiba-tiba mengingat momen 'hampir' kematiannya malam sebelumnya. "... mana monster yang ingin membunuhku?" Wajah terakhir yang dilihatnya sebelum pingsan adalah Obanai Iguro, guru yang dijulukinya Penyuka Ular. Tidak mengherankan Kiriya menyuruhnya berterima kasih karena sang guru lah yang menyelamatkan nyawanya. 

Kebingungan apa yang terjadi, (Y/N) pun melangkah keluar, terburu-buru kabur ke sembarang arah sampai tersandung oleh kakinya sendiri seperti orang bodoh belajar berjalan. Lututnya perih terbentur lantai kayu. Kebetulan saat ia berusaha bangun, cahaya bulan menyinarinya sampai tiba-tiba bayangannya tertimpa bayangan orang lain.

"Apa yang lakukan? Mencium lantai?"

Begitu ia mendongak, orang yang mengajaknya bicara sama sekali tidak mengulurkan lengan guna membantunya berdiri, melainkan berdiri saja menatapinya yang sangat kacau. Namun pandangannya terpaku pada kilauan dua warna iris yang berbeda. Hijau, dan cokelat almond.

"Iguro sensei..." Tentu bersama ular Kaburamaru. Syal merah pemberian Iguro yang masih melingkari lehernya mengingatkan (Y/N). Mungkin ia benar-benar harus berterima kasih. Jika tidak, ia tidak mungkin masih bernapas sekarang. "Uhm..." Ia kesulitan menyesuaikan kalimat karena bingung. "Terima kasih sudah menyelamatkanku dari monster." Sebenarnya terdengar tidak masuk akal jika menyelipkan kata 'monster' atau justru merupakan hal benar.

Menyadari reaksi (Y/N), Iguro mengangguk ringan. "Tidak usah kau pikirkan." Bukan "Sama-sama." Setidaknya (Y/N) lega tidak perlu memikirkan rumitnya menuturkan kalimat. "Lebih baik kau pulang. Ayo, kuantar." Beruntung jaraknya tidak terlalu jauh, dan ditemani selama perjalanan buatnya merasa aman. Tidak ada iblis, atau berbagai masalah lain mengejarnya.

Relatable Heart Beats | Kimetsu No Yaiba ModernWhere stories live. Discover now