🍃第二章ポイント三

914 120 13
                                    

Setiap tapak kaki [Name] tersamarkan angin. Bunyi sepatunya menginjak aspal secara teratur menuju rumah. "Bisa-bisanya aku gak sadar udah malam," gumam [Name] sungkan. Bingung antara tidak enak hati, atau menertawakan kebodohan sendiri.

Biasanya ia mengabarkan keluarganya terlebih dahulu. Prioritas utama [Name] adalah izin telat. Kasihan Ibu kesepian menunggunya pulang. Tiada orang menemani karena Ayah kerja lembur bagaikan budak perusahaan.

Apalagi setelah kejadian terakhir kali, [Name] dilarang bepergian sembarang. Saat ia masih kecil semasa berumur dua belas tahun, rok berenda selalu dikenakannya bak tuan putri. Tubuh serba mungil termasuk pola pikir sederhana layaknya anak polos. Senang bersosialisasi, periang, bertolak belakang versi dewasa [Name].

Hari itu, rewelan [Name] tidak kunjung berhenti. "Ibu! Ibu! Ayo, aku pingin ayunan!" Memanglah kebiasaan egois buah hati sulit dihilangkan. Sikap kekanakannya cukup maklum. Kecuali Ibu [Name]. "Ayolah..."

Entah turunan siapa kebebalannya. "Main! M-A-I-N!" teriak [Name] mengeja kata 'main', bersikeras ke taman di cuaca mendung. Tentu isakannya gagal meluluhkan benak tegas Ibu.

Menurut logika, sewajarnya ia tidak diperbolehkan. Selain terlalu sore, mendung pula, maka sepantasnya [Name] di rumah ketimbang berkeliaran sekitar. "Nanti aku makan sayuran, kok! Seribu rius!" seru [Name] mengacungkan kelingking, tanda dirinya berjanji.

"Awas kau ngeluh kukasih wortel!" Muak mendengar segala alasannya, Ibu akhirnya lanjut berkata, "Yaudah, hati-hati, ya. Ingat, cuman dua jam!" Netra [Name] menyipit, menyiratkan keluhan mengapa hanya diberi waktu sebentar. Namun ia mengangguk seraya keluar membawa teddy bear.

Matahari tersenyum menyambut begitu ia membuka pagar. "Mari bersenang-senang, [Doll's Name]!" Tawanya bahagia sekali.

Pukul delapan malam. Jantung duo manusia bermarga [Fullname] berdegup kencang. Wangi [Favorite Food] menyerbak mengunggah selera. Kompor baru saja dimatikan. Anehnya [Name] yang biasa berlarian setiap selesai memasak kini hampa.

Seberapa lama menunggu pun percuma. Hilangnya [Name] menggegerkan sekompleks [Place's Name]. Tahun [Years] di desa Nenek, situasinya belum stabil sehingga tidak ada CCTV.

Jangankan lampu pinggir jalan raya, hanyalah hutan, juga sawah menghiasi desa. Nihilnya saksi semakin memutar balikkan otak keluarga [Name].

Airmata menyusuri pipi. "Ya Tuhan..." Lirihan wanita berapron itu menarik iba. Tetangga yang tinggal di sebelah ikut menghibur didampingi Nenek. "Tolonglah [Name]." Ribuan doa dipanjatkan memohon keselamatan [Name].

Seorang lelaki-- Sang suami menyemangati, "Sabarlah. Kuyakin [Nickname] gak apa." Mobil terparkir di garasi. Sejak kabar [Name] diculik beredar, Ayah terburu-buru menanyakan petugas keamanan yang patroli, bahkan tidak berganti pakaian seusai bekerja.

Tangisan bercampur marah memekik. "Kau bisa tenang? Gimana caranya aku diam padahal dia berkeliaran entah gak jelas?!" Teriakan barusan mengejutkan para warga. Khususnya Ayah. Sebagai suami, ia tidak pernah melihat raut Ibu nampak kehilangan akal sehat.

Tetangga yang menyaksikan pertengkaran singkat mereka apa daya ketakutan. "Bertahanlah," ujar Ayah memeluk wanita terkasih yang tengah memukulnya pelan, sekadar meredam emosi yang memuncak. Saking kesalnya, ingin membanting meja saja.

"Kalian ngapain?" tanya gadis polos kebingungan dari ujung dinding. Kedengarannya heran sekali. "Apa Ibu menangis ketinggalan jadwal drama sinetron?"

Sepasang insan menoleh padanya. "... [Name]?"

Di sanalah [Name] berdiri memegang boneka. "[Doll's Name] jatuh pas aku beli eskrim, jadi kucari dulu," balasnya lesu tanpa dosa. Ia tidak tahu kesalahan apa yang dibuatnya. Justru [Name] menghibur Ibunya. "Eh! Jangan-jangan aku ditinggal makan?" Ia bergemetar, takut melanggar aturan, yaitu jangan pulang malam.

Relatable Heart Beats | Kimetsu No Yaiba ModernWhere stories live. Discover now