🍃第二章

1K 143 9
                                    


"Kau, kan guru. Masa gak berkaca dulu, sih? Kelihatan gak professional."

"Ih, mencolok banget."

"Lebih serius, dong. Bukan teladan, ya?"

Mulut memanglah senjata andalan. Mematikan, bahkan mampu merenggut nyawa seseorang. Tidak kalah dengan jemari yang mengetik komentar menyakitkan di kolom ponsel. Selain selebriti, ratusan korban sudah terkena efek buruknya. Salah satunya, Mitsuri Kanroji.

Pink gradasi hijau yang mewarnai Mitsuri selalu menjadi bahan perbincangan. Entah iri dengki tidaknya, masyarakat terus menyebar keburukan, dan kekurangan Mitsuri. Seolah menuntut wanita manis itu untuk se'normal' lainnya. Bukankah wajar manusia tidak sempurna? Sampai hati Mitsuri yang terluka akhirnya terselamatkan [Name].

Ankle boots berpita melintasi koridor dekat loker. "Kanae chan!" teriak Mitsuri menebarkan pesona. Harum parfum mahal menyerbak seiring semilir angin meniup.

Wanita yang terpanggil pun menghampiri Mitsuri. "Gimana pekerjaanmu?" tanya Kanae ramah menghangatkan suasana. Sedangkan [Name] berdiri di belakang, kebingungan bagaimana menginterupsi perbincangan keduanya. "Oh! [Name], dia Mitsuri Kanroji chan!" Setelah memberanikan diri bertanya, Kanae bergegas memperkenalkan mereka.

Embel-embel di ujung kalimat Kanae gumamkan pelan. Namun [Name] tetap mendengar 'chan' seksama. Perhatiannya menyelidik kepala hingga ujung, dan beralih ke wajah Mitsuri. Maksudnya, cantik.

Tertegun rasanya Mitsuri menyadari ke mana [Name] menatap. "Aneh, ya?"

Sungguh ia tidak berniat negative thinking. "A-- Bagus, kok. Aku suka!" puji [Name] menghentikan Kanae yang hendak memeringatinya. "Apa... kau mewarnainya? Di salon mana kau cat rambutmu, sensei?" lanjut [Name] polos. Tidak setitik pun ia berdusta. 

Berbagai ejekan yang sering Mitsuri dengar langsung terulang di kepala. "Gak malu, ya berpenampilan bebas? Guru, kok serasa ngartis." Ucapan paling menyakitkan bagi Mitsuri. Awalnya senyum cukup menjawab sindiran, lalu sampai kapan Mitsuri harus bertahan? Derita yang sedari dulu ditahan terpaksa dibagikan pada Kanae karena sulit menanggung sedih. 

Gosip bukanlah sekadar ucapan. Bukanlah opini. Bukanlah sesuatu yang ingin Mitsuri dengar.

Tidak mengherankan otak Mitsuri penuh insecure toxic. Cukup dunia mengorbankan warga demi kepuasan pribadi. Kemajuan peradaban bukan berarti keegoisan menurun. Manusia tetap sama kapan pun. 

Sejenak Mitsuri ragu. "Apa kau bilang gitu karena takut melukai perasaanku?" 

Kali ini [Name] yang terkejut, dan Kanae ikut terdiam memperhatikan arah pembicaraan  mereka. Cara ia memandang Mitsuri sangat tulus seolah benar jika ia kagum. "Ibuku tegasnya minta ampun! Catok aja diomelin..." Sejujurnya ia tidak mengerti istilah perawatan walau sesekali ia ingin memukau.

"Alami, kok."

Rahangnya terbuka. "Hebat... kau diberkati sekali, sensei." Tercengangnya berubah senyuman lembut. 

Aroma mawar kemudian memasuki penciumannya saat Mitsuri menariknya ke pelukan. "Aw, makasih! Imutnya kamu. Apa kau mau jadi adikku?!" seru Mitsuri perlahan melepaskan dekapan, membiarkan [Name] bernapas sebentar. "Oh, kau belum memberitahuku namamu." Kuku panjang sang pilar menggaruk kepala tidak gatal.

Senyumnya terulas lagi. "[Name] [Fullname]." 

Selama memperhatikan interaksinya, Kanae lega [Name] menghapus trauma Mitsuri. "Salam kenal, ya! ... oh, ya. Bukannya kelasmu akan mulai?" Teringat harus mengantar [Name], mereka pamit sebelum walinya, Rengoku Kyojuro datang. Tidaklah lucu Rengoku menghukumnya telat akibat kesalahan Kanae. "Bye-bye, [Name] chan!" teriak Mitsuri sukses menaikkan moodnya.

Tidak disangka hari pertamanya SMA akan menyenangkan.

Pintu terbuka kencang menimbulkan kegaduhan. "Ah, maaf... aku gak sengaja, hehehe," tawa Kanae canggung dibalas tatapan 'Mengapa ada guru lain?' oleh murid lain sehingga punggung [Name] terdorong menghadap ketujuh belas teman barunya. "[Name] belum terbiasa di sini. Jadikan tahun pertamanya baik, ya." 
Suasana ramai sontak berganti hening. Tiada yang berbicara, bercanda, menyisakan mata puluhan mata terpusat pada [Name]. Seragam di tubuhnya terbilang cocok seolah designnya untuk ia saja. Keeolannya mengejutkan semua orang, buat ia malu setengah mati. 

Seandainya ia muat di lubang tikus, ia akan bersembunyi di sana. "Halo..." Ia takut memulai sapa.

"Selamat datang!" 

Pipi [Name] merona. "Makasih." Ia langsung menutup wajahnya dengan telapak.

Ruangan kembali berisik hampir menulikannya. Situasi tidak terkontrol mengartikan guru belum datang menertibkan. "Tunggu Rengoku sensei, ya. Jangan takut, [Name]," hibur Kanae seperti bisikan saking ramainya. "Aku balik mengajar dulu, ya?" 

Sedih ditinggal Kanae, ia menunduk cemberut. "Uhm... siap..." Ia mencoba berani. Sosok Kanae pun berjalan menjauhinya. Punggung yang ia ratapi mulai menghilang di balik kejauhan. 

Kepala [Name] menengok kanan kiri mencari spot kosong, yaitu kursi terletak di belakang. Ia duduk menaruh ransel, lalu perempuan mengajaknya bicara. Topiknya berakhir monoton. Makeup, fashion, artis, trend kesukaan, lagi-lagi begini. Beruntung ia mengerti berkat pengalaman.

[Name] tidak kunjung berhenti didesak. "Liptint jenis apa yang kau pakai?" Selazimnya ia menjawab menimbulkan list pertanyaan lain. "Tapi kamu cantik, lho. Lipstick kayaknya lebih oke." Pusing jiwa raga [Name]. "Nude bakal pas!" 

Liptint, lisptick, nude, juicy, ia tidak peduli. "Buset, ngomongin mantra." Panas ia mendengar riasan. Tetap saja [Name] tidak hafal. Memangnya ujian yang perlu ia mengerti? 

Suara bariton bersemangat memecah keadaan. "Selamat pagi!" Jas merah menyala Rengoku berkibar. Tersemat pin 'However, if you bare your fangs at innocent people, my bright red flame blade will burn you to the bone!' di kerah kemeja. "Apa kabar kalian? Mana semangatnya?!"

Kawan-kawan yang mengelilingi [Name] bergegas kembali. Tanpa aba apa pun semuanya diam menunggu pelajaran Rengoku. "Kelompok ambisius, nih," batin [Name] kebingungan hanya dirinya yang pemalas. 

Dasarnya Rengoku tahu merubah waktu mencatat yang membosankan menjadi menyenangkan. Sesi quiz yang mungkin disukai [Name]. "Nah, ayo absen!" Rengoku mulai mengeja. Suasananya berbeda, tidak seperti semasa ia SMP di desa yang terkenal tegas. Benaknya senang sudah mendaftar ke Kimetsu Gakuen.

Kebetulan meja sebelahnya kosong. "Hei, mana dia?" tanya [Name] pada Adam pirang di depannya.

"Oh? Tanjirou, ya?" Lelaki mirip bunga tanpopo--Agatsuma Zenitsu kegirangan karena [Name] mengajak bicara duluan. "Tanjirou izin sakit."

Ketimbang iba, [Name] menahan tawa tanpa waspada Rengoku mendengar cekikikannya. "Lah, kok bisa? Pftt-- Kasian amat."

Tanjirou Kamado sebagai anak sulung membantu keluarga mengurus toko roti selama musim libur. Guna beristirahat mengumpulkan tenaga, Tanjirou berjanji bersekolah besok. "Oh... gitu, ya..." Kini ia tidak enak hati menertawakan Tanjirou. "Dia terkesan... baik, ya," gumamnya membandingkan Tanjirou dengan dirinya yang bangun kesiangan, juga rebahan sepanjang Sabtu Minggu. Apa daya hobi [Name].

Spidol di genggaman Rengoku mengetuk papan tulis. "Fokus!" Alhasil [Name] yang asyik bercanda berdeham, dan mengeluarkan catatan, tidak tahu absennya terlewatkan sedari tadi. Diam-diam otaknya memikirkan jadwal acara yang perlu ditontonnya seraya menyayangkan perkenalannya tertunda. Ia tidak sabar kapan lunch break tiba untuk menanyakan nama Zenitsu.

Remukan kertas terbungkus asal menggelinding. Ia terkekeh begitu membuka isinya. Sebuah surat berisi 'Agatsuma Zenitsu'.

Relatable Heart Beats | Kimetsu No Yaiba ModernWhere stories live. Discover now