Aku ingin sekali tidur, berharap semua ini hanya mimpi. Namun, setiap kali mataku terpejam, bayangan Steven selalu muncul. Kenang-kenangan dengannya terus terbayang, mulai dari momen saat pertama kali dia hadir di dunia sampai terakhir kali kami melakukan video call. Menangis terus-terusan, membuat tubuhku lelah, hingga akhirnya tertidur.

***

Saat membuka mata, kulihat beberapa temanku sudah duduk di ujung tempat tidur. Termasuk Carl yang duduk di kursi, di pojok kamar. Wajah mereka tersenyum, beberapa saat kemudian kami pun berpelukan.

Awalnya aku tidak mau menceritakan semua permasalahanku ini. Namun, aku pun menyerah dan mulai menceritakan semuanya. Mulai dari bunda yang terbaring sakit dan adikku yang baru saja meninggal dunia.

"Sebaiknya kamu segera pulang ke Indonesia)," saran Carl.Benar ... aku harus pulang ke Indonesia.

Kuambil  ponsel di atas tempat tidur. Masih dalam keadaan mati. Saat kuhidupkan, ternyata banyak notifikasi—panggilan tak terjawab. Salah satunya dari ayah. Dengan gegas kulakukan panggilan telepon kepadanya. Cukup lama, sampai dia mengangkat teleponnya. "Halo, Ayah," sapaku saat telepon tersambung.

"Qila, dari pagi ayah telepon. Kamu ke mana? Kok handphonenya dimatiin?"

Aku pun menangis.

"Udah jangan nangis, kamu harus sabar." Ayah berusaha menguatkanku.

"Ayah."

"Ya."

"Aku mau pulang ke Indonesia," ucapku dengan suara parau.

"Kamu gak usah pulang. Sebentar lagi juga Steven mau dimakamkan. Doakan aja Steven dari sana. Jangan sedih. Jangan nangis. Jaga kesehatan."

"Tapi ayah ... aku mau nemenin Kevin. Kasian dia sendirian."

"Ada Mbok Wati yang nemenin. Kamu jangan khawatir."

"Ayah ...."

"Sudah ya, Sayang. Ayah lagi ngurus pemakaman."

Telepon ditutup. Aku yang kesal sampai melempar ponsel menjauh. "Gak boleh, Ya?" tanya Melinda, temen kampusku yang berasal dari Indonesia. Kuanggukan kepala. "Ya udah, sekarang kalau ada apa-apa, lu harus cerita. Semalem kita sampe panik banget loh," sambungnya.

"Apalagi Carl, dia sampe minta kunci cadangan ke respsionis hotel. Saking khawatirnya sama lu," sambungnya lagi.

"Maaf," ucapku sambil menatap ke arah Carl yang sedang membawa dua potong roti dan segelas susu.

"Oke," balasnya sambil tersenyum.

"Lu makan dulu, pasti capek semaleman nangis terus," ucap Melinda.

"Makasih," ucapku, ketika Carl meletakan sarapan untukku di atas nakas.

Melinda dan Carl pun meninggalkanku sendirian di kamar. Mereka berdua sangat mengerti, kalau aku masih butuh waktu untuk sendiri.

Saat sedang menyantap sepotong roti, aku baru teringat dengan Kevin. Bagaimana kondisinya sekarang?

Kuambil ponsel. Ternyata ada dua pesan dari Kevin yang belum kubaca.

[Kaka, kapan pulang?]

[Kevin takut, di rumah sendirian]

Cepat-cepat kubalas pesan itu.

[Bentar lagi kaka pulang. Kamu jangan takut, jangan nangis dan harus kuat] Balasku. Walaupun kondisiku sama-sama sedang sedih dan terpuruk, tapi aku harus terlihat kuat di hadapannya.

Ternyata Kevin membaca pesanku, dia pun membalas.

[Kapan, Kak?]

[Nanti ya, Kakak masih ada ujian semester]

[Jangan lama-lama, Kak. Kevin takut]

[Kamu harus berani]

[Iya, Kak]

***

Hampir setiap hari aku bertukar kabar dengan Kevin, tapi tidak dengan ayah. Seminggu ini, aku tidak menghubunginya sama sekali. Jujur, karena masih kesal gara-gara dia tidak mengizinkan pulang.

Walaupun aku mulai sedikit memahaminya. Mungkin ayah hanya ingin aku berhemat, karena tiket pulang pergi Jerman-Indonesia lumayan mahal. Apalagi saat ini kondisi usaha ayahku masih belum kembali seperti semula.

[Kak, kapan pulang?]

Kevin kembali menanyakan hal yang sama. Rasanya ingin sekali pulang dan memeluk adikku itu, tapi ayah sangat mengontrol keuanganku dengan ketat. Aku pun memiliki ide, untuk mulai mencari pekerjaan part time.

[Kak, kok belum pulang juga]

[Gak kasian sama aku?]

[Bunda belum bangun, Kak Steven udah gak ada. Mending aku ikut Kak Steven aja]

Aku sangat sedih membaca retetan pesan dari Kevin. Tangan ini hanya terdiam di atas deretan huruf, di layar ponsel. Sangat sulit sekali membalas pesan ini.

[Doain secepetnya ya, Vin]

[Udah dua bulan jawabannya begitu terus] Balas Kevin.

[Ya, Kakak juga lagi usaha biar kuliahnya cepet selesai] Dia tidak tau, kalau aku masih mengumpulkan uang untuk biaya pulang ke Indonesia.

[Ya udah, deh]

Pesan itu adalah pesan terakhir yang Kevin kirim. Sudah sebulan, dia tidak pernah membalas pesanku. Kata Mbok Wati, Kevin sedang marah padaku.

***

Bulan februari, saat teman-temanku mulai sibuk merencanakan liburan musim dingin. Sementara aku malah mengemasi barang-barang untuk pulang ke Indonesia. Tidak satupun orang rumah tau, kalau aku akan pulang. Ini akan menjadi kejutan untuk Kevin.

Butuh waktu 24 jam, untuk sampai ke kotaku. Terakhir kali pulang, kira-kira satu setengah tahun lalu. Saat itu bunda lah yang menjemputku.

Jantung ini berdegup kencang, ketika mobil taksi yang kutumpangi sudah dekat dengan rumah. Aku tak sabar ingin berjumpa dengan Kevin dan memeluknya. Lalu, melihat wajah cantik bunda yang sudah tertidur selama 5 bulan terakhir ini.

Taksi pun tiba di belokangan terakhir menuju rumah. Dari belokan kulihat kondisi jalan agak ramai. Terlihat sebuah mobil ambulan terparkir di depan rumah.

Bergegasku turun dari taksi. Hanya bisa berdiri mematung, saat melihat sebuah keranda jenazah ke luar dari rumah. Tidak lama kemudian, terlihat ayah berjalan di belakangnya.

Tanpa sengaja padangan kami pun beradu. Tampak sekali ayah terkejut dengan kedatanganku. Dia pun berjalan perlahan mendekatiku. "Qila?" sapa Ayah sambil berjalan semakin dekat. Sementara aku masih menatap ambulan itu.

"Jenazah siapa yang ada di dalam?" batinku.

BERSAMBUNG

Selamat Dari Tumbal PesugihanWhere stories live. Discover now