Senyuman gue mengembang, lalu selanjutnya gue menundukkan kepala untuk memanjatkan doa diikuti oleh Freya. Sejak tadi, perempuan itu hanya menatap batu nisan yang bertuliskan nama Papi secara lengkap. Sesekali tangannya menyentuh benda itu, seperti sedang berbicara sesuatu namun hanya lewat rasa.

"Papi, Freya juga bakalan jagain Mami." Dia bersuara, "Freya bakalan ngerawat Mami sama Mas Dipta baik-baik. Papi harus percaya sama Freya, meski juntrungannya begini, Freya baik kok, baik banget sampe mamah Dedeh aja kalah."

Mau jitak kepalanya karena omongan dia nggak nyambung sama sekali tapi malu, soalnya di makam sebelah lagi ada orang ziarah juga.

"Pamit ya, Pi." Gue memegang nisan itu sekali lagi lalu berdiri, selanjutnya menggenggam tangan Freya dan membantu perempuan itu untuk bangkit. Langkah gue terasa berat, pun dengan Freya yang terus menerus menatap makam yang undakan tanahnya ditumbuhi rumput hias.

Sampai tiba di dalam mobil, perempuan itu tetap diam. Akhir-akhir ini dia memang jadi jarang sekali bicara, seringnya narik napas panjang dan menghembuskannya kasar. Gue selalu nunggu dia untuk cerita, tapi kayaknya Freya masih belum mau terbuka sehingga gue cuma bisa ngehibur dia aja.

"Gimana sih, Mas, rasanya ditinggalin ayah?" Tanyanya begitu mobil mulai keluar dari area pemakaman.

"Rasanya ya? Kayak mau ikut mati juga."

Gue nggak hiperbolis, justru gue lagi ngomong soal fakta. Nggak ada satu pun orang yang baik-baik aja saat mereka ditinggalkan, terlebih jika yang meninggalkan merupakan orang-orang tersayang.

"Bokap gue ... kalo misal mati gue harus gimana?"

Kali ini gue benar-benar menjitak kepalanya, "Hus! Kalo ngomong gak boleh sembarangan! Pamali tau."

"Mas, gue beberapa hari ini nangis mulu tau." Nah, sepertinya Freya udah bisa cerita. "Kasian sama Khrisna, kadang nggak pulang, terus pas gue cari ... dia masih ngurusin jabatan sama kerjaan barunya di Yaksa Siaga. Semua gara-gara gue kan mas?"

"Abang lo ikhlas, justru kalau lo mikir gini, abang lo bisa marah." Karena jujur, gue udah gak bisa menanggapi apa-apa soal hubungan kakak beradik ini. Khrisna benar, Freya juga benar. Gak ada yang harus disalahkan karena keduanya benar dalam pilihannya masing-masing.

"Anter gue ketemu bokap, mas."

Laju mobil gue sedikit melambat, "Sekarang? Ke Jakarta?"

"Dia lagi ada di Yaksa Siaga sampe sore, dateng di acara Sertijab Khrisna." Emang resign-nya Khrisna belum disetujui karena masih dua minggu saja dari tanggal pengajuan, tapi sepertinya orangtuanya udah gak sabar buat melimpahkan jabatan baru itu kepada anaknya. Hidup orang kaya itu nggak bisa dimengerti ya, ribet.

"Lo mau ngapain pas ketemu bokap?"

"Minta kerjaan Khrisna dikurangi."

"Terus lo balik lagi ke Scotland? Gitu?" Gue gak rela, Frey, sungguh. Lo udah sembuh sama gue, dan lo gak boleh jadi orang yang bukan diri lo lagi.

"Enggak, anter aja makanya." Setelah menatapnya lama, akhirnya gue cuma bisa menuruti keinginannya. Gue mengarahkan kendaraan ke arah Taman Kopo. Disana ada rumah sakit elit yang bangunannya sekilas mirip hotel bintang lima. Gue kalo dirawat disana kayaknya pulang-pulang harus ngegadein sertifikat rumah saking mahalnya biaya perawatan di RS Yaksa Siaga.

Ketika memasuki area rumah sakit, mobil gue udah minder duluan karena dia tua sendirian. Sementara mobil lain yang parkir paling rendah merk-nya Toyota Alphard, keliatan banget kalau didalam sana lagi ada acara khusus untuk para petinggi gitu. Saat masuk ke lobby, gue nyaris aja ketawa karena ada beberapa banner berisi foto Khrisna dengan nama dan gelar lengkap. Bener kata anak-anak, dia cocok banget jadi politikus atau pejabat kelas tinggi.

TIGA BELAS JIWAHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin