Seven

1.6K 95 10
                                    

Author Pov.

Mimpi. Ya! Lily berharap apa yang tengah ia alami saat ini hanyalah mimpi buruk yang akan segara berakhir ketika ia terbangun tapi nyatanya yang ia alami bukanlah sebuah mimpi buruk melainkan kenyataan, mimpi buruk yang hidup!. Kenyataan dirinya berada jauh dari tempat asalnya membuat kepalanya pusing tujuh keliling memikirkan segala kemungkinan buruk dan mengerikan yang akan terjadi. Lily mengerang seraya menyentuh kepalanya, menggeleng tidak terima. Lily menuruni ranjang dengan tergesa menuju pintu besar yang menjadi satu-satunya akses keluar masuk kamar besar itu.

"Kau tidak bisa melakukan ini padaku sialan! Keluarkan aku dari tempat sialan ini!!!" Lily menggendor pintu berulang-ulang kali yang mana adalah tindakan percuma. Rafe sudah pergi dari tadi, tidak mungkin pria itu mendengar Lily.

Merasa hanya kesia-sian yang ia dapatkan membuat Lily berhenti menggendor pintu dan berteriak, ia menyandarkan keningnya di pintu sembari menatap hampa kedua kakinya yang menapaki lantai.

"Apa yang harus ku lakukan?" Desis Lily pada dirinya sendiri, lebih tepatnya apa yang telah ia lakukan. Kalau bukan karena ambisinya yang ingin menuntut keadilan Cade mungkin Lily tidak akan pernah berada dalam situasi seperti ini tapi tidak ada yang tahu rencana Tuhan kan?.

Lily menarik diri seraya mengedarkan tatapan sendunya ke seluruh penjuru kamar, ia menemukan jendela besar yang di tutupi gorden berwarna hitam, Lily berjalan kesana dan menyibak gorden itu hingga tampaklah pemandangan yang indah namun menyesakan dada. Tempatnya saat ini ternyata berada di ketinggian yang bebas memperlihatkan lautan yang bergelombang berangsur-angsur mengibas di setiap pesisir. Air mata Lily jatuh, ia menyekanya pelan meski pun air mata selanjutnya kembali jatuh, ia benar-benar berada jauh dari negara asalnya.

Ketukan dua kali di pintu membuyarkan lamunan gunda Lily, Lily melirik pintu kamar beranjak menuju kesana dan tepat sebelum ia sampai, pintu terbuka memperlihatkan seorang pria yang Lily kenal.

Delean tersenyum melihat Lily di hadapanya, raut wajah Lily menggambarkan kehancuran tapi tidak mengurangi sedikit pun kecantiakan yang gadis itu miliki.

"Aku diperintahkan untuk mendampingmu." Ucap Delean.

Lily tentu saja muak, untuk apa seorang pendamping? Seorang pria pula! Lily tidak butuh itu.

"Lepaskan aku." Cetus Lily, hanya itu yang ada di dalam pikiranya. Menuntut untuk dilepaskan.

Delean masih tersenyum, rupanya Delean tidak seperti Rafe yang enggan tersenyum dan jika pun tersenyum hanya senyum sinis dan misterius.

"Aku tidak memiliki kuasa untuk melepaskanmu Miss. Janner."

"Kalau begitu katakan pada Bossmu untuk melepaskanku, aku tidak mau menjadi tawananya." Tukas Lily.

Kening Delean berlipat, senyum pria itu berubah mengejek.

"Tawanan? Kau bukan tawananya."

Lily mengerang.

"Persetan! Apa pun sebutanya aku tidak peduli! Yang ku inginkan adalah kebebasanku."

Benar-benar menarik dan berbeda. Delean yakin seratus persen ketertarikan Rafe kepada Lily karena perbedaan Lily dengan wanita-wanita di sekeliling Rafe. Lily jauh lebih seperti tantangan yang harus di taklukan.

"Kau harus membicarakanya dengan Boss, aku hanya pendampingmu." Kekeh Delean. Lily naik pitam, ia dengan cepat menghampiri Delean, nyaris melayangkan tinjunya jika dua orang pria bertubuh kekar tidak segera menghalangi Delean. Di balik dua orang pria itu Delean tertawa sementara Lily terpaku tersulut amarah di tempat.

"Tahan pukulanmu Miss. Janner." Kekeh Delean. Dua orang pria itu membuka ruang untuk Delean yang puas menertawakan Lily.

Mereka semua sama saja! Yang suka tertawa di atas penderitan orang lain, tertawa puas di atas ketidak berdayaan orang lain, kekuasaan benar-benar menjadi tolak ukur antara yang kuat dan lemah. Renung Lily meski pun di liputi perasaan marah yang luar biasa.

BE YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang