- 1. Hari Seperti Biasa -

179 5 2
                                    

Pacitan, tahun 1960

Matahari masih belum terbit dari ufuk timur, tetapi Lestari sudah bangun sedari tadi dengan sangat bersemangat menyambut hari itu. Tidak ada yang berbeda dengan dirinya, selalu antusias dan ceria menjalani setiap hari-harinya.

Darmo, sang ayah pun sudah dibangunkan oleh Lestari untuk sholat subuh.

Seperti biasanya, sebelum memulai melakukan aktivitasnya, Lestari terlebih dahulu menikmati hawa sejuk dan suasana remang-remang di pagi hari. Kegiatan yang selalu menjadi rutinitasnya untuk memulai harinya dengan menghirup udara yang masih bersih dan segar, memberikan rasa rileks dan menyegarkan pikiran. Lestari sudah berada di halaman depan rumahnya yang tidak seberapa luas, memejamkan mata dan menghirup udara bebas dalam-dalam sekuat yang dia mampu, kemudian menghembuskan pelan. Kelopak matanya perlahan terbuka, wajahnya tersenyum menyambut matahari yang perlahan mulai muncul menyapu bumi dengan sinar terangnya.

"Nduk, bapak hari ini harus ke ladang pak Kusnan, sudah waktunya panen. Jadi hari ini bapak nggak makan siang di rumah, sudah disiapkan di sana." Ujar Darmo mengagetkan Lestari.

"Nggih, Pak." Balas Lestari dengan nada lembut.

Setelah menikmati momen pagi harinya, Lestari bergegas ke dapur menyiapkan api untuk memasak sarapan. Masih menggunakan tungku perapian tradisional, Lestari menyalakan sebatang korek api, lalu membakar serabut kelapa kering dan langsung dimasukkan ke dalam tungku perapian. Beberapa potong kayu bakar juga ikut dimasukkan ke dalam tungku. Lestari berjongkok dan mulai meniup ke arah lubang tungku menggunakan sebuah bambu panjang supaya api menyebar. Kayu bakar di dalam tungku mulai termakan api dan perlahan berubah menjadi arang. Lestari mengipas api dalam tungku menggunakan sebuah kipas anyaman bambu agar api dapat membesar. Saat kobaran api dirasa sudah cukup baginya, dia menaruh sebuah wajan ke atas tungku, kemudian mulai memasak. Bukan menu yang mewah, tetapi cukup untuk memberikan energi bagi Lestari dan Darmo menghadapi seluruh aktivitas hari ini.

Memasak merupakan salah satu tugas utama Lestari setelah kepergian sang ibu yang entah ke mana. Kebanyakan gadis di desanya diajarkan pekerjaan rumah oleh ibu mereka masing-masing. Sedangkan bagi Lestari, Darmo-lah yang mendidik dan membesarkan putri semata wayangnya seorang diri. Semua hal diajarkan Darmo, mulai dari pekerjaan rumah sampai pekerjaan yang harusnya dikerjakan oleh seorang laki-laki.

Lestari dengan Darmo tinggal di rumah bergaya tradisional Jawa sangat sederhana. Rumah itu dibangun sendiri oleh Darmo saat sang istri mengandung Lestari. Meskipun sederhana, tetapi terlihat kokoh berdiri. Pada dinding bawah depan rumah dibangun dengan memakai material batu untuk memperoleh pondasi yang kuat. Dinding rumah tidak memakai batu bata, melainkan menggunakan material kayu. Memang terkesan sederhana, tetapi malah terlihat lebih asri. Bagian atap rumah dibuat dengan gaya Joglo yang menambah kesan kental bangunan rumah Jawa yang elok.

Pada bagian dalam rumah hanya dibagi beberapa bagian saja, yaitu dua kamar tidur, ruang tamu yang sekaligus digunakan sebagai tempat makan maupun bersantai, dan dapur seadanya. Masing-masing area hanya ditutupi dengan gorden merah bata bercorak burung bangau. Lantai rumah masih beralaskan tanah.

Kamar Darmo dan Lestari masing-masing hanya berisi dipan yang beralaskan kasur kapuk dengan sebuah bantal yang sudah kempes, dan lemari baju kecil cukup untuk menampung pakaian mereka yang memang tidak banyak. Namun, di kamar Lestari ada tambahan sebuah meja rias lengkap dengan kursi buah peninggalan sang ibu. Meja rias itu memang khusus dibuat sendiri oleh Darmo untuk sang istri. Dan sekarang menjadi milik Lestari.

Kamar mandi terletak di sisi luar belakang rumah dengan sebuah sumur timba di sebelahnya. Setiap pagi, Darmo selalu mengambil air dengan melempar tali timba berisi ember ke dalam sumur yang menimbulkan suara derit katrol yang khas. Air hasil menimba tadi, kemudian dituang ke sebuah lubang pada dinding kamar mandi, kemudian air mengalir ke dalam kamar mandi untuk mengisi bak. Darmo selalu bersenandung menyanyikan sebuah lagu tradisonal kesukaannya jika sedang melakukannya. Dan Lestari yang sedang memasak di dapur dekat sumur, pun ikut menyanyi. Meskipun hanya hidup berdua saja, hidup mereka sudah lebih dari cukup dengan memiliki satu sama lain.

Lestari [TAMAT~> terbit eBook]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang