7. Guru Tetaplah Guru

90 4 0
                                    

⚠️Cerpen ini adalah karya tulis yang saya ciptakan saat masih SMA satu tahun yang lalu.

-

Untuk kesekian kalinya, Anin menghembuskan nafas berat. Sudah lebih dari lima puluh lembar yang ia periksa, tapi tak ada satupun angka 70 yang tertulis. Hanya ada angka 50 dan 40 yang berkali-kali ia tuliskan, bahkan paling tinggi 68. Sedikit lagi akan mencapai KKM.

"Why Nin? Do you have a problem?" Eko yang datang dengan secangkir teh panas bertanya saat melihat Anin dengan ekspresi kusut. "Oh, lagi ngoreksi hasil ulangan anak-anak ya?"

Anin tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Eko, teman seperjuangannya. "Iya nih. Enggak ada satupun yang berhasil mencapai KKM, Ko. Gimana ya? Apa cara mengajarku yang salah?"

Eko menyeruput teh panasnya dengan kening yang mengkerut. "Salah? Nggak ah. Kalau salah pasti anak-anak sudah pada protes, minimal." Katanya berusaha menenangkan Anin yang mulai krisis kepercayaan diri. "Well, I think matematika emang susah. Yaudah sih, aku juga dulu struggle banget menghadapi mata pelajaran itu."

Anin mempertemukan punggungnya dengan sandaran kursi. Memijat pangkal hidungnya yang terasa nyeri mendengar cara bicara guru bahasa Inggris itu. Perempuan itu menyudahi pekerjaannya dan memutuskan untuk melanjutkan besok. Merenungkan diri kenapa nilai anak didiknya tak ada yang mencapai KKM.

Bila ia renungkan lebih dalam, cara mengajarnya sudah sangat nyaman. Nilai tugas anak-anak didiknya tak pernah mengecewakan. Tapi jika sudah menghadapi ulangan, nilai-nilai itu akan merosot jatuh tak terbayangkan. Apakah karena soal yang susah? Ia tak pernah memberikan soal yang susah. Selalu hampir sama seperti contoh, hanya mengubah angka saja.

Eko memperhatikan Anin yang terlihat sangat pusing. Ia berusaha untuk mengusir rasa pesimis dari diri sahabatnya itu. "Udahlah Nin, jangan terlalu over thinking, deh! Kamu tinggal tanya aja sama anak-anak, kan? You know, even in my subject, some of them don't have a good grades too,"

"Iya, iya. Udah berhenti ngomong campur-campur gitu deh! Pusing dengarnya."

***

Anin menatap pintu putih di depannya gugup. Ia memperbaiki jilbabnya yang berantakan, lalu dengan yakin mengetuk pintu tersebut. Dari dalam terdengar sahutan untuk menyuruhnya masuk.

Perempuan itu masuk dengan langkah khawatir. Saat sedang pusing memikirkan tanggapan anak-anak bahwa matematika—pelajaran yang ia ajarkan tak menyenangkan walaupun cara mengajarnya sudah baik, ia diberitahu oleh Eko bahwa Kepala Sekolah memanggilnya. Sungguh luar biasa, entah kesalahan apa yang menyambutnya.

Bu Rahma adalah nama panggilan wanita tua yang sedang duduk di balik meja kerja itu. Guru matematika Anin dan Eko dulu saat masih sekolah. Bonusnya, beliau adalah Ibunya Eko.

Walaupun pernah menjalin hubungan yang dekat dengan Anin dari dulu saat masih berstatus murid dan guru, tak ada alasan wanita itu tak ditakuti oleh muridnya sendiri yang saat ini berpangkat sebagai anak buahnya.

"Nin, duduk." Perintah Bu Rahma pada Anin yang berdiri kaku. "Saya dapat cerita dari Eko."

Anin membatin kesal. Pantas saja tiba-tiba Bu Rahma memanggilnya, ternyata ada yang memiliki mulut ceriwis.

"Oh, iya Bu..." Anin menanggapi sedikit ragu.

"Jadi guru memang nggak mudah, Nin. Saya juga kaget kamu mau jadi guru padahal ada kesempatan menjadi peneliti atau dokter." Bu Rahma tersenyum. "Cinta ya kamu sama matematika?"

Anin menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Iya, memang kegemaran saya sih, Bu..." jawabnya sudah sedikit santai.

"Belum ada satu tahun ya kamu jadi guru?" Bu Rahma tertawa. "Banyak memang dilemanya,"

Anin hanya diam, tersenyum tipis tak nyaman. Bingung merespon apa.

"Nin, ingat nggak dulu bagaimana saya mengajar?" Bu Rahma kembali bertanya pada Anin. Membuat perempuan muda itu bernostalgia. "Banyak sekali yang tidak menyukai pelajaran saya dan memang saya sadar bahwa tidak semua anak bakatnya di matematika."

Bu Rahma tersenyum lebar, membuka kembali kenangan-kenangannya saat belum menjabat sebagai kepala sekolah. "Bahkan anak saya sendiri, Eko, sangat susah menerima pelajaran saya. Tapi kamu tahu apa? Saya hanya santai menanggapi itu. Saya bahagia tahu bahwa bakatnya berada pada bahasa dan sastra." Ujarnya masih mempertahankan senyuman yang sangat cantik dan hangat. "Nin, jangan merasa bersalah pada dirimu sendiri. Bukan salahmu jika anak-anak itu tidak bisa matematika, ya bakat mereka memang bukan di pelajaranmu. Mungkin di bidang lain?"

Anin mengangguk mendengar penjelasan Bu Rahma. Ia setuju pada ucapan gurunya itu.

"Hal yang harus kamu lakukan adalah, hal yang paling penting guru lakukan adalah: membuat suasana belajar yang menyenangkan dan terasa nyaman. Hingga tak ada murid yang stres. Masuk atau nggaknya pelajaran pada otak anak nanti dulu, yang penting mereka nyaman sama kamu." Bu Rahma menjelaskan dengan tenang dan bijak. "Jika kamu, gurunya sendiri stres. Lalu siapa yang akan mengurangi stres anak-anak itu karena dituntut untuk belajar hal-hal yang bukan bidangnya?"

Guru tetaplah guru. Sampai kapanpun itu. Anin sadar bukan nilai lah yang harusnya ia prioritaskan di sini, tetapi bagaimana dirinya membangun karakter anak-anak itu menjadi manusia yang berkualitas. Bukan sebuah angka yang ia lihat, tetapi bagaimana anak-anak itu berusaha pada apa yang bukan bidangnya.

Anin sadar akan egois dirinya yang menilai sesuatu dari sebuah angka yang mudah untuk dimanipulasi. Padahal perjuangan keras, hasil kejujuran, sikap dan prilaku anak didiknya yang sukar untuk di nilailah sebuah saripati dalam melihat sesuatu.

Karena itulah sekolah disebut sebagai rumah kedua, sebuah tempat untuk membangun manusia-manusia yang penuh dengan kebaikan. Sebuah lingkungan yang akan menuntun masa depan bangsa menjadi seseorang yang lebih baik. Bukan menjadikan mereka seorang pesaing tak jujur.

***

Anin keluar dari ruangan Bu Rahma dengan airmata yang mengalir membanjiri pipinya. Dalam hal ini, Bu Rahmalah yang membantunya untuk lepas dari stres dan membantunya menyadarkan diri. Guru memanglah tetap guru sampai kapanpun.

"Kenapa nangis, Nin?"

Anin menatap tajam Eko yang memperhatikannya dengan senyum yang sangat menyebalkan. Laki-laki itu sepertinya baru keluar selesai mengajar.

"Heh, ini yang mulutnya ceriwis, ya?!" Anin berujar kesal. "Udahlah, jangan dekat-dekat aku!"

"Udah ditolongin juga," ucap Eko yang menyeimbangkan langkanya dengan Anin. "Jadi gimana, dapat solusi?"

Anin mengangguk. "Dapat."

"Guru tetap guru ya?" Eko tertawa, sangat mirip dengan Ibundanya jika tertawa. "Mau sampai kapanpun toh kita anak jadi muridnya Bu Rahma. Muridnya Ibuku."

Anin tersenyum. "Iya sampai kapanpun." Ujarnya ceria. "Aku mau lanjut ngoreksi hasil ulangan, kamu jangan ganggu aku ya, Ko!"

"Siapa juga yang mau ganggu kamu. Aku masih harus ngajar kali," Eko berujar sembari memperlihatkan jadwalnya.

Anin tertawa pelan dan berpisah dengan Eko yang harus menuju kelas berikutnya. Ia duduk di mejanya, merenggangkan badan sedikit lalu mengambil pulpen. Ia mulai melanjutkan pekerjaannya. Sebagai seorang guru.

CERITA: Kumpulan oneshot / cerpen. Where stories live. Discover now