Cerita Yang Telah Usai

3.7K 274 28
                                    

Jakarta, September 2010

Hari ini angkasa cerah, biru di atas sana sepertinya tengah berbahagia, mentari juga bersinar terang, ikut menjadi pelengkap kehangatan suasana sore ini. Keluarga kecil yang tengah bermain bola di taman samping rumah mereka itu juga terlihat begitu bahagia dengan tawa yang sedari tadi tak henti menemani. Dua anak kecil yang tengah bermain bola di sana tertawa saat salah satu di antara mereka terjatuh ketika menendang bola. Ayah dan Bunda yang tengah duduk santai di sana juga ikut tertawa, menikmati sore hari ini dengan banyak bercanda, hanyut dalam suasana hangat keluarga kecilnya.

“Adit, gantian dong nendang bolanya.”

Suara imut anak tujuh tahun itu kembali terdengar diiringi rengekannya yang meminta saudara kembarnya supaya mengizinkannya untuk menendang bola. Sedari tadi hanya Adit yang menendang, sedangkan Arik hanya bertugas mengejar bola, Adit bukannya tak mau memberikan bola itu kepada Arik untuk ia tendang, tapi
ia hanya tak ingin saudara kembarnya itu kembali terjatuh dan sampai menangis karena kakinya yang terlalu kecil untuk ia gunakan menendang bola yang besarnya hampir melebihi tubuh mungilnya.

“Kalo kamu kepeleset lagi gimana? Nggak sakit emang?”

“Sekali ini aja, ya? Ya..?” Arik kembali merengek, ia sampai mengayun-ayunkan lengan Adit supaya anak itu perbolehkan. Dan jika sudah seperti ini, Adit tak bisa berbuat apa-apa, ia pasrah, memberikan bola itu kepada Arik untuk anak itu tendang.

Arik tersenyum lebar saat Adit menyodorkan bola itu kepadanya, begitu girang. Ia letakkan bola itu tepat di depan kaki mungilnya, mengambil ancang-ancang, lalu menendang bola itu dengan kencang. Kali ini ia tak terpeleset, berhasil menendang dengan gerakan yang bagus, tapi sayang, ia terlalu kencang menendang sampai bolanya menggelinding jauh ke jalan. Secara refleks Arik berlari mengejar bola, sesekali berteriak meminta bola untuk berhenti menggelinding. Dan Adit yang memandangi punggung kecil Arik yang tengah berlari hanya tersenyum tipis,
matanya beralih menatap jalanan di sana, hingga sesuatu di sana membuat matanya membola, ia berteriak, memanggil Arik untuk berhenti berlari.

Ayah yang tengah mengobrol dengan Bunda di sana tiba-tiba merasa gusar karena teriakan Adit yang begitu kencang, ia menoleh, mengikuti arah pandang Adit yang menatap ke arah jalanan, hingga sesuatu di sana membuatnya beranjak cepat dan berlari mengejar Arik yang sudah hampir memijak jalanan. Tepat di detik terakhir, Ayah mendorong tubuh Arik kencang hingga terpental ke sebrang jalan, lalu kemudian terdengar suara klakson yang berbunyi nyaring diiringi suara tubrukan.

Tubuh Ayah terpental, menggelinding beberapa meter dari jalanan, bau anyir darah yang mengalir dari kepala Ayah merembes ke bajunya hingga ke aspal. Dengung panjang yang menyakitkan terdengar, seiring dengan buramnya penglihatannya, hingga gelap datang dan suara teriakan dari sebrang jalan terdengar, lalu perlahan hilang dan semuanya menghitam.

🍁🍁🍁

“Ayah pergi, dan itu gara-gara kamu! Kenapa kamu jahat sampai bikin Ayah meninggal?!”

Teriakan itu kembali terdengar, tangis itu tak kunjung berhenti sejak kemarin sore. Makian dan cacian terus Adit lontarkan, menumpahkan segala kekesalan dan rasa sakitnya pada sosok kecil yang sudah tertunduk dalam, ikut merasakan apa yang tengah Adit rasakan. Ia juga sedih, ia juga merasa kehilangan saat tahu kalau Ayah meninggal karena kecelakaan di jalan tadi sore. Tapi Adit malah memakinya dengan kata-kata yang tak pernah ingin ia dengar, Adit memanggilnya dengan sebutan 'pembunuh', menyalahkannya atas kepergian Ayah, sampai meneriakinya sebagai orang jahat yang telah berani membunuh Ayah.

PERGI [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang