"Ma, aku berhenti sekolah aja, ya?"
Gerakan perempuan yang sudah berumur pun juga memiliki jejak kesedihan di wajahnya itu terkesiap, matanya melotot kaget seperti hendak menerkam Ammar yang bicara sembarangan.
"Nggak, mau jadi apa kamu emangnya?" Mama kembali melipat pakaian yang ada di tangannya, melanjutkan kegiatan melipat pakaian itu.
"Apa aja," jawab Ammar asal, kembali menyuap sesuap nasi ke dalam mulutnya, "asal Mama nggak banting tulang sampai sakit, dan lagi Kalan pasti akan sedih kalau itu sampai terjadi, Ma."
Helaan napas terdengar, Mama sepertinya merasa kesal atas tutur kata Ammar. Inginnya marah, tapi Mama berusaha menahan amarahnya dan beralih menatap Ammar tajam nan dalam.
"Sekarang Mama tanya, kalau kamu mau kerja sekarang, kamu akan dapat kerja apa? Paling juga bayarannya nanti nggak seberapa, lebih baik kamu sekolah dulu. Selesaikan pendidikan kamu terlebih dahulu."
"Aku mau ambil IPS aja, ya, Ma?"
Mama menoleh tajam kembali, "Mau jadi IPS gimana? Sudah IPA saja, kamu mau ambil Teknik Fisika, kan?"
Itu benar, impian Ammar adalah masuk ke jurusan Teknik Fisika dan menjadi insinyur. Sejak mengenal Matematika dan bertegur sapa sedikit dengan pelajaran IPA, Ammar jadi bertekad ingin mengambil IPA di kelas 12 penjuruan nanti, sekalian meluruskan lagi jalannya menuju Teknik Fisika.
Tapi, siapa sangka ketika Ayahnya sudah tak ada, dia jadi memikirkan soal biaya kuliahnya. Mungkin akan ada beasiswa yang menghampirinya, namun itu takkan terlalu berarti jika beasiswa tersebut tidak penuh. Bagaimana jika Ammar hanya mendapatkan setengah beasiswa saja?
Belum lagi keadaan Mama sekarang, Mama bahkan tidak bisa bekerja terlalu lama... masih lemas... lagipula, Ammar mana tega Mama-nya bekerja begini. Lebih baik Ammar saja yang bekerja daripada dia harus melihat Mama berluluhan peluh dan penat.
"Aku nggak mau Mama sakit," ungkap Ammar, dia beranjak bangun kemudian berjalan masuk ke dalamnya.
Laki-laki itu memilih membaringkan tubuhnya di atas kasur, menatap tembok kamarnya yang gelap. Pikiran-pikiran itu kembali datang, mulai dari sesak atas kepergian Ayahnya beberapa hari yang lalu, teman-temannya yang sudah tak ia ketahui kabarnya, Dzaki yang ada di rumah sakit....
Semenjak Rayya mengatainya egois, Ammar menjadi urung sekali untuk mendekati mereka bahkan bila itu hanya sekedar meminta maaf.
Bukan menuruti ego. Ammar hanya takut kehadirannya semakin menjadi beban.
Sudah sebelumnya dia sangat anti untuk dekat dengan mereka, sekarang pun dia membuat Dzaki masuk ke Rumah Sakit. Masih punyakah dia rasa malu jika dia menampakkan wajah di sana?
"Ammar," Ammar menoleh kepada Ibunya yang berdiri di bingkai pintu kamarnya, "kamu jangan kerja sendirian, Mama juga nggak kerja sendirian. Kita kerja bareng-bareng, nanti Mama buka warung... kamu bantu jaga, ya?"
Ammar tersenyum tipis, dia mendudukkan dirinya di atas kasur sementara Mama menghampirinya. Perempuan itu ragu-ragu memegang rambut Ammar. Setelah sekali usap dengan hati-hati, perempuan itu kemudian mengusak-usak rambut Ammar cepat dengan sebuah senyum yang amat kentara di bibirnya.
"Sudah lama Mama nggak acak-acak rambut kamu, Mar," Mama menatap Ammar sendu, sudut matanya berair, "maaf Mama nggak bisa jadi Mama yang baik. Maafin Ayah juga karena dia belum bisa jadi yang terbaik, Mar. Maaf Mama dan Ayah nggak bisa jadi yang terbaik buat kamu. Maaf kita nggak bisa sembuhin kamu dengan normal."
Payah, tangis Ammar pecah seiring dengan Mama yang memeluk erat tubuhnya.
"Maafin Mama, ya, Mar?" Mama menangkup wajah Ammar, mengusap lembut pipi Ammar yang dialiri air mata, membersihkannya dengan cepat.
Tanpa ditanya dua kali pun Ammar mengangguk, lagipula... Ammar tak pernah menyalahkan kedua orang tuanya atas apa yang dia alami selama beberapa tahun terakhir ini... semenjak kecil.
"Mama nggak perlu minta maaf. Mama adalah Mama terbaik bagi Ammar. Justru Ammar yang minta maaf karena udah nyusahin Mama selama ini," lirih Ammar yang kembali mengundang tangis Mama.
***
"Gimana keadaan Dzaki?" tanya Rayya, dia memasukkan potongan bakwan ke dalam mulutnya kemudian kembali menyimak perkataan Reza di sambungan telepon rumahnya.
"Sedikit membaik, tapi dia masih belum bisa banyak gerak... orang gerak dikit aja udah klenger," Reza terkekeh, senang sekali dia bisa menjelek-jelekkan Dzaki di saat begini.
Padahal yang panik sekali ketika Dzaki sakit adalah dia. Aneh memang.
"Iya, dah," Rayya membolakan matanya, "kalau si Hana? Masih mogok makan?"
"Udah nggak, soalnya Dzaki melototin dia mulu, Hananya takut sama Dzaki," Reza kembali terkekeh, "kalau lo? Gimana keadaannya?"
Rayya menipiskan bibirnya, dia tak menjawab.
Helaan napas terdengar dari sana sebelum sebuah suara menyapa pendengaran Rayya lagi, "Gue tahu lo masih ada masalah sama Ammar. Tapi Ray, lo sama Ammar nggak beda jauh, sama-sama jadi sering melamun. Apa iya lo mau begini terus? Lo mau dihantui rasa bersalah ke Ammar? Lo nggak mau kayak dulu lagi? Gangguin Ammar... ledekin Ammar... ngejek Ammar dengan Marimar," lagi-lagi dia terkekeh, menertawakan kalimatnya sendiri.
Sayangnya Rayya sedang tidak dalam mood yang bagus semenjak Reza mengungkit Ammar dalam obrolan mereka.
"Gue---" Rayya mengerjapkan matanya ketika mendengar perkataan Reza terputus.
Dengan sebuah kedikkan bahu Rayya meletakkan gagang telepon rumahnya. Namun belum ada sedetik dia meletakkan telepon rumahnya, telepon itu kembali berdering. Pasti Reza.
"Sorry, tadi time out," katanya.
"Time out mata lo."
"Beneran elah, Ray."
Rayya tertawa, tak membalas keluhan dari Reza.
"Oh, iya, lanjut yang tadi," Reza diam sebentar, membiarkan suara napas mereka masing-masing yang mengisi, "gue nggak pengen lo berantem sama Ammar. Se-nggak suka apapun gue dengan kedekatan lo dan Ammar, gua tetap nggak mau teman gue begini. Iya, kita emang kenal lewat Theater, kita belum kenal setahun juga. Tapi gue udah nyaman sama kalian, udah nyaman dengan melihat kalian di sekeliling gue dengan berbagai karakter kalian. Gue nggak mau kalau salah satu dari kalian pergi dengan alasan nggak logis atau ego masing-masing. Gue mau lo, Ammar, Adis, Hana, dan Dzaki sama-sama terus."
Hening cukup panjang di sana.
Rayya diam mencerna setiap perkataan Reza dengan nafsu makannya yang seketika memburuk, bakwan di tangannya loyo begitu saja dalam genggaman.
"Ray?"
"Iya," tanggap Rayya, "gue juga nggak pengen begini, Za."
"Kalau begitu perbaiki, masih ada waktu."
"Kalau dia udah benci gue... gimana?" cicit Rayya.
"Dia sayang sama lo, mana mungkin benci?"
***
Pipipip, penunggu Unqualified gedeg kali ya udah setengah tahun ini crita ga kelar
😭💁
KAMU SEDANG MEMBACA
UNQUALIFIED [√]
Fiksi Remaja"Kekurangan ada untuk dilengkapi." -Anonymous. Rayya Maira kesepian, hidupnya hanya diisi oleh Kakek, Nenek, dan Cemong. Rayya berpikir hidupnya tidak diberlakukan adil. Sampai Rayya memutuskan untuk masuk ke dalam Teater, awalnya Rayya masih meras...
![UNQUALIFIED [√]](https://img.wattpad.com/cover/153566565-64-k674023.jpg)