"Jadi malu, bisa-bisanya dipuji sama Chef paling sadis di Holly Kitchen, padahal makanannya cuma telur gulung doang."

"Doang kamu bilang? Emang sih." Dewa mendengkus geli. "Cuma aku suka telur bikin kamu ini. Kenapa? Rasanya macem-macem aja. Pas. Kejunya juga leleh sempurna."

Keduanya saling melempar senyum. Dewi berdehem lebih dulu kemudian berbalik. Menuju wastafel yang sudah berisikan peralatan masak kotor yang barusan dipakai.

"Wi," panggil Dewa. Dia menyadari sesuatu yang ganjil. "Kamu ... nggak ikut makan?"

Dewi menggeleng. Begitu acara cuci piring dia selesai, barulah wanita itu kembali menghadap Dewa dan merespons, "Habis gini aku kan mau ke Bali's Belly, Kak. Lanjut shift malam. Pasti di sana sudah disiapkan makan malam. Nggak baik makan terlalu banyak, nanti sakit perut."

"Kamu ... kerja di Bali's Belly? Sejak kapan?"

Pertanyaan Dewa menutup acara makan malamnya yang terlalu awal ini. Perhatiannya kini terpusat penuh pada Dewi.

"Tiga mingguan. Begitu aku datang ke Sutar, besok paginya aku langsung kerja di Bali's Belly. Trana bilang, menyepi bukan berarti diam di satu ruangan yang sama dalam jangka waktu panjang, nanti bisa gila. Jadi, dia suruh aku kerja dan cari kesibukan biar tetap waras."

Dewa manggut-manggut. Hingga dia teringat pada head chef yang tiba-tiba pulang lalu suara Trana yang panik di telepon.

"Jangan bilang kamu kerja jadi head chef di Bali's Belly?" tebak Dewa.

Dewi mengangguk lambat. "Iya, Chef. Nggak cocok ya?"

"Ngaco! Cocok kok," aku Dewa. "Sup Iganya enak banget. Bagi resep dong, Wi!"

"Oh, jadi kamu tamu VIP itu?"

"Haruskah kita saling bertanya? Sudah waktunya untuk mengaku, Wi."

Tiba-tiba Mereka terkekeh pelan lalu mengangguk bersamaan. Mata mereka beradu pandang sejenak. Kali ini, yang merusak momen adalah suara alarm ponsel Dewi. Wanita itu agak gelagapan mendekati pantry untuk menghentikan suara.

"Aku harus berangkat sekarang," ungkap Dewi.

"Oke...." Kata-kata Dewa menggantung. Saat mendapati Dewi yang hendak beranjak, dia langsung mengajukan pertanyaan, "Pulang malam, Wi?"

"Jam sepuluh biasanya." Dewi meringis. "Kita bisa bicara setelah itu kalau kak Dewa nggak keberatan."

Dewa buru-buru menggeleng. "Kita bicara besok aja. Aku mau tidur dulu. Capek banget. Kamu pakai kamar utama?"

"Iya. Aku bisa pindah kalau kamu mau."

"Oh ... nggak perlu, Wi. Aku punya kamar sendiri di sini." Dewa menunjuk langit-langit. "Di lantai dua. Makasih buat tawarannya. Selamat bekerja dan ... sampai ketemu besok pagi ya."

"Thanks," gumam Dewi sejenak. Sebelum akhirnya wanita itu berjalan cepat memasuki kamar utama yang berada di lantai yang sama, bersebelahan dengan ruang tamu.

Begitu Dewa ditinggal sendirian bersama telur gulung dan sepiring nasi, pria itu mulai menyibukan diri mengisi perut.

Dewa pikir, sesampainya di Ubud, maka dia akan seorang diri di Sutar. Namun, dia malah dipertemukan kembali pada Dewi, sahabat adiknya, Trana. Menyenangkan memiliki teman. Hanya saja, gender yang berbeda dan kebutuhan dewasa mereka jelas bukan perpaduan yang bagus untuk menjadi teman serumah.

Seketika Dewa mengerang kesal. Malam ini, sepertinya dia harus berpikir keras menentukan nasib, siapa yang akan tinggal di Sutar dan siapa yang harus angkat kaki dari tempat ini.

Under The Kitchen Table [COMPLETE]Where stories live. Discover now