#1 - Exile

12.5K 1.7K 84
                                    

I think I've seen this film beforeAnd I didn't like the endingYou're not my homeland anymoreSo what am I defending now?

(Taylor Swift ft Bon Iver - Exile)

*Yang lagi suka lagu ini, angkat tangan! ☝🏻

***

Dewa mengambil sekaleng bir dari kulkas. Pendingin itu nyaris kosong, hanya ada tiga telur hampir busuk, beberapa botol air mineral dingin, dan tentu saja banyak bir. Pelarian terbaik patah hati adalah alkohol. Banyak minum kemudian terlelap tanpa mimpi, melupakan semua kesakitan walau hanya sejenak.

Tanpa bisa dicegah, Dewa melayangkan tatapan jijik pada dapur. Seolah dia hanya bisa singgah, bukan tinggal. Karena setiap kali dia mencoba berlama-lama di tempat itu, kenangan akan perselingkuhan Amanda berputar di kepala. Sangat jelas, walaupun sudah seminggu berlalu.

Deringan ponsel mengalihkan perhatian Dewa. Segera dia melangkah menuju ruang tamu. Diliriknya ponsel di meja. Ada nama Amanda di layar. Untuk kesekian kalinya, dia membiarkan bunyi itu menghilang bersamaan dengan nama sang istri.

Sekali lagi ponsel berdering. Namun, hanya ada satu pesan masuk. Pelaku masih sama, Amanda.

From : Wife, Amanda

Kumohon, Dewa, angkat panggilanku. Kita harus bicara. Aku merindukanmu.

"Persetan!" umpat Dewa.

Hampir saja dia melempar kaleng bir di tangan, tetapi ketukan diikuti bel rumah menghentikan Dewa. Sontak dia beranjak dari sofa. Agak dag dig dug, takut bahwa Amanda di luar. Namun, itu mustahil. Istrinya sudah menjadi daftar hitam di bangunan ini.

Saat Dewa mengintip keluar, dia menemukan sosok sang manajer, Lutfi. Pria kurus bergaya perlente. Rambut panjang dia dikuncir. Kemeja hitam dan celana berwarna senada yang pas badan. Tangannya membawa tas tangan bermerk Gucci dan sebuah amplop kecil.

"Aduh, Dewa, buka!" teriakan Lutfi membuat Dewa tersentak di dalam. Padahal mereka dipisahkan oleh sebuah pintu kayu jati, tetapi suara manajernya bisa menembus ketebalan kayu. "Buka, Dewa. Capcus! Gue tau lo di dalam!"

Agak malas-malasan Dewa membuka pintu. Tiba-tiba saja ekspresi Lutfi berubah ngeri saat menatapnya. "Demi jenggot Neptunus, itu rambut lo kenapa jadi cepat begitu, baby?"

"Buang sial."

Lufti berdecak pelan seraya menerobos masuk. Pria itu seumuran dengannya, tiga puluhan. Pekerjaan yang saling ketergantungan, menjadikan mereka akrab. Mau tidak mau.

"Gini ya, Mr Sadewa Hartanto, habis patah hati terus potong rambut? So, typical! Kalau sial mah sial aja, nggak ada hubungan hidup lo akan membaik habis keluar dari salon."

"Ya ... namanya juga berharap, Lut."

Lutfi mencibir. Pria itu segera menaruh bawaannya ke meja bar lalu menatap Dewa sambil berkacak pinggang. "Jangan cerai sekarang!"

Seketika Dewa mendelik. "Gila ya lo? Jangan atur-atur hidup gue karena lo cuma manajer, Lutfi!"

"HEI!" Lutfi menunjuk Dewa. "Panggil Upi, Lutfi so ... manly. No, no! Karena gue manajer lo, Dewa, jadi gue berhak mengatur hidup lo!"

"UPI!" Dewa tanpa sadar berteriak. Mengacak-acak rambut cepak dia dengan frustrasi. "Gue nggak mau kenal Amanda lagi ... apalagi setelah gue lihat dia having sex dengan cowok lain di dapur rumah gue!"

Under The Kitchen Table [COMPLETE]Where stories live. Discover now