Seventeen: Two Path

Start from the beginning
                                    

"Dan kamu belum makan malam?"

"Belum. Bukan hal penting kok. Anggap aja puasa dengan waktu dibalik," Berlyn tersenyum.

Segitunya kamu diatur oleh pencitraan sampah ini, Bee! Batin Orin geram.

"Bukan itu kok tujuanku mengajakmu pulang. Aku nggak mau kita pisah dalam kondisi emosi kayak gini, Rin. Dan besok aku harus siap-siap sebelum Subuh."

Orin memandang pria itu. "Mending aku bantuin kamu beresin pekerjaan itu sekarang. Di sini," kata Orin tegas. "Sekali lagi, komitmenku sejak awal udah jelas. Aku nggak mau nginep di rumahmu."

Kita bahkan belum tentu akan menjadi resmi. Dengan kamu yang seperti ini, aku juga nggak mungkin menutup mata. Pilihanku cuma dua, belajar mengatasinya dan membuatmu paham tentang nilai-nilai hidupku, atau aku akan mundur. Sayang waktu sudah terlalu malam untuk membicarakan hal seserius ini.

"Jangan bantah dulu!" cegah Orin melihat Berlyn akan membuka mulut. "Bukan demi siapa-siapa kok ini. Tetapi untuk menghormati diriku sendiri."

Dan kalimat sederhana itu akhirnya mampu membungkam Berlyn.

"Sekarang, kamu bawa nggak materi buat laporannya? Kali aja aku bisa rapihin dikit-dikit sebelum di-touch up oleh Jeffry."

"Duh, Rin, males banget aku. Masa iya aku harus kerja sama kamu. Aku pengennya dimanja-manjain kamu."

"Kalau nggak mau, ya udah, kamu pulang aja. Bee. Kita ngobrol di telepon."

"Iya... iya ... Kalau Tuan Putri sudah bertitah, apalah daya hamba ini," gerutu Berlyn. "Aku ambil kerjaan dulu di mobil, ya. Please, jangan usir aku saat ini."

Melihat raut wajah Berlyn yang dibuat-buat, Orin benar-benar ingin menggetok kepalanya. "Yah, apa daya, Bee. Kamu udah jadi pacarku gini, mau nggak mau aku terima meskipun ngeselin," kata Orin. "Aku siapin makan malam buat kamu, ya. Ada pizza beku di freezer. Kalau kamu mau, aku masukin ke microwave bentar."

Berlyn mengangguk berterima kasih, mencium Orin kuat-kuat, lalu meloncat keluar. Meninggalkan gadis itu yang hanya bisa berdecak heran dengan kelakuan pria yang kadang sangat kekanakan ini.

Saat Berlyn kembali, ternyata Orin tidak hanya menyiapkan makan malam. Gadis itu juga menggelar karpet tebal dan empuk di ruang depan yang sepanjang dindingnya telah dipenuhi rak berisi bahan dan alat penunjang hobinya. Juga buku-buku koleksinya. Desain interior paviliun yang disewa Orin ini memang keren. Keren seperti Orin, di mata Berlyn.

"Kamu bisa istirahat dulu sambil menunggu, Bee," katanya sambil memberikan bantal empuk dan besar.

Tawaran yang diterimanya dengan senang hati. Pria itu merebahkan tubuhnya sejenak untuk mengistirahatkan pinggangnya yang terasa lelah. Dikelilingi oleh barang-barang milik Orin, dengan aroma lembut khas gadis itu, yang tak bosan-bosan dia menciumnya. Salah satu alasan kenapa Berlyn senang sekali berada di dekat Orin.

"Rin, aku minta parfum kamu dong," kata Berlyn, pada sang gadis yang masih sibuk di ruang sebelah.

"Buat apa, Bee? Parfum kamu masih banyak kan? Tempo hari kita beli."

"Kalau aku di lapangan ntar kangen kamu, bisa cium-cium aroma parfum kamu, Rin."

Lalu Orin muncul dari balik pintu. "Jangan aneh-aneh."

"Belum-belum aku udah males banget harus pergi, Rin. Kamu ini bikin candu," katanya sambil mengamati sekeliling ruangan. "Ruangan ini juga bikin kerasan banget. Sama kayak di rumahku. Jejakmu ada di mana-mana. Aku memang nggak bisa mendeskripsikan dengan jelas. Tetapi aku tahu bahwa sentuhan tangan ajaibmu benar-benar luar biasa. Heran, bagaimana dulu prosesnya kamu mengasah selera seperti ini."

Sew The Heartmade (akan terbit dengan judul :Love You, Orin)Where stories live. Discover now