Bab 4 ALPHA

35 4 14
                                    

“Alpha Centauri Cadison,” sebutnya lengkap. Bola mata yang dibalut kulit segelap milik Zack itu menatapnya malu-malu. Maklum ini adalah kali pertama Ezel mendatanginya, bukan perawat yang kulitnya sama dengan ia dan teman Inggrisnya.

Ezel mengangguk lalu tersenyum berusaha seramah mungkin. Ternyata tak mudah mengalihkan perhatian dari potongan tangan kiri dan kaki kanan hasil amputasi yang menggantung itu. Beberapa menit setelahnya ia mencoba memulai obrolan agak canggung dengan pasien pertamanya ini. Sambil kepalanya mengingat-ingat, apa yang diperingatkan Zack dan Bryan beberapa jam lalu sebelum mengantarkannya ke bangsal ini.

“Dengar, ya. Aku tidak tahu apa motivasimu malah menginginkan peran merepotkan ini. Tapi, kau harus siap dengan segala kondisi pasien nantinya,” ungkap si cerewet Bryan setelah Zack menyebutkan peraturan-peraturan tak tertulis menjadi seorang relawan. Ezel hanya mengangguk-angguk patuh. “Mereka tidak sepertimu yang punya kekuatan super.”

“Tapi tenang saja, kau tidak diposisikan oleh Darrel sebagai tim medis. Tugasmu hanya ‘menghibur’ mereka yang butuh. Bukan hanya secara jasmani, mental mereka juga terganggu. Jadi kau di sini sebagai relawan yang membantu mengalihkan rasa sedih para pasien supaya tidak menjadikan mereka mengalami kelainan psikis. Paham?”

Ezel mencerna sederet kalimat itu beberapa detik sebelum mengangguk mantap. Zack mengangsurkan sebuah tas kertas. “Ini seragam dan keperluan pribadimu. Cepat pakai di sana.” Zack menunjuk ke arah pintu kecil yang tampak seperti ruang ganti di ruangan besar tempat istirahat para relawan. “Kami akan menunjukkan beberapa fungsinya.”

Ezel agak bingung dengan maksud kalimat Zack terakhir. Tapi ia tak berani bertanya banyak. Pemuda itu lantas berlari kecil menuju ruang ganti, dan membentangkan seragam barunya. Sebiru langit dengan banyak saku seperti yang dipakai Zack dan Bryan. Ajaib, bet nama di atas saku dada kanan langsung bertuliskan nama lengkapnya begitu baju itu melekat di tubuh. Ezel menenggak ludah. Satu hal ia sadari begitu berpatut di depan cermin, seragam ini lebih identik dengan petugas kebersihan daripada seorang relawan.

“Hadap kanan.”

“Eh?” Ezel sudah kembali di hadapan dua pria yang kini menjadi senior relawannya.

“Cepat,” tegas Bryan. Ezel menurut dengan gerakan patah. “Kalau kau tidak sadar, di lengan kirimu ada dua buah tombol kecil.”

“Yang berwarna kuning, harus kau tekan apabila membutuhkan kami sebagai atasanmu langsung jika mendapat masalah pasien yang cukup serius. Sebaliknya, itu akan berwarna jika kami memanggilmu. Kau cukup menekannya sekali, dan akan muncul GPS yang menunjukkan kau harus ke mana mendatangi kami.”

“Satu lagi berwarna putih, itu kau gunakan untuk sambungan ke petugas medis,” sambung si kulit hitam, Zack. “Jangan sekali-kali kau menangani masalah pada kesehatan jasmani pasien yang tak kau kuasai. Sebaliknya pula, sinyal putih tanda ada petugas medis yang membutuhkanmu. Ya, tapi itu jarang terjadi, sih. Dan oh ya, jika kau menekan lama tombol kuning atau putih itu, yang terkirim adalah pesan suaramu kepada kami atau petugas medis. Itu fitur terbarukan, dirancang khusus untukmu yang tak memiliki hamew.” Ezel menunduk, mengucapkan terima kasih.

Kemudian mereka saling menyimulasikan cara kerja kemeja modern itu. Ezel jadi merasa bersalah, ternyata baju ini lebih canggih dari yang ia sangka.

Zack menepuk pundak Ezel, setelah anak itu paham tugas barunya. Ia membuka sebuah lokasi di hamew-nya. Ezel memperhatikan hologram biru itu saksama. “Ini adalah bangsal pasien pertamamu. Nomor lima di lantai tiga. Seorang anak perempuan dari Davidsonville yang kehilangan sebelah tangan dan kakinya. Ingat, kau tak boleh membahas terkait apa-apa yang bakal memancingnya bersedih.”

Lost at Lunar PerigeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang