Bab 2

1.1K 168 35
                                    

"Fa, ini beneran Althaf ya?" ujar Aludra sambil geleng-geleng menatap undangan yang aku berikan.

"Memangnya siapa lagi?" sahut Arabella setengah berbisik. Matanya melirik khawatir ke stroller di sebelah tempat duduknya, tempat putranya kini tengah terlelap.

"Gue masih nggak nyangka," ucap Aludra. "Lo masih ingat Althaf kan, La?"

"Ya ingatlah," jawab Arabella. "Kecilin dikit suara lo, nanti Kai bangun."

"Sori... Sori... Gue masih nggak nyangka aja," ujar Aludra.

"Karena Althaf yang lo kenal tahu-tahu nikah sama Fifa?" ujar Arabella tersenyum.

Aku mendadak berdebar cemas. Di antara mereka berdua, hanya Ella yang tahu kalau aku sudah naksir Althaf sejak SMA. Aku sengaja tidak pernah memberitahu Rara karena malu. Takut diledek karena Rara adalah teman sekelas Althaf.

"Iya, Althaf yang dulu sempat gue kira nggak pernah suka sama cewek. Ya ampun..."

Aku menatap cemas ke Rara.

"Kalau tahu kalian bakal nikah begini, dari dulu aja ya, Fa, aku comblangin kalian berdua," ujar Aludra. Ia akan selalu ber-aku-kamu denganku, dan berubah jadi lo-gue kalau bicara dengan Ella. Ini karena sejak dulu aku tidak terbiasa berbicara menggunakan lo-gue pada mereka. Dulu aku sempat ikut Ayah bertugas di beberapa daerah yang tidak menggunakan sapaan seperti itu, hingga akhirnya kami menetap di Ibu Kota saat aku duduk di bangku SMA.

"Udah, nggak ada yang perlu disesali," ujar Arabella. "Yang penting minggu depan mereka berdua sah jadi suami istri."

"Betul... Betul... Akhirnya Fifa menemukan tambatan hatinya. Gue senang banget," ujar Aludra.

Aku tersenyum pada keduanya. Hari ini kami janjian di kafe yang dulu sering menjadi tempat kami berkumpul. Aku ingin membagikan undangan secara resmi karena sejak beberapa waktu lalu hanya bisa berkomunikasi via chat dengan mereka.

Sejak pertemuan dengan keluarga Althaf waktu itu, dua minggu kemudian kami resmi lamaran. Lalu resepsi akan dilangsungkan dua bulan berikutnya. Semuanya serba cepat. Aku dibuat sibuk mengurus banyak hal hingga untuk mencocokkan waktu bertemu dengan kedua sahabatku pun tidak sempat.

Kedua orangtua kami tidak ada yang menyangka kalau aku dan Althaf ternyata teman satu angkatan di SMA. Berbekal informasi itu, mereka semakin yakin kalau kami tidak butuh waktu lama untuk saling mengenal. Ditambah pula Althaf juga minta untuk dipercepat karena ia ingin kami menikah sebelum hari wisuda program doktoralnya.

"Baju kalian udah pada dijahit kan?" tanyaku.

"Sudaaaahh..." jawab keduanya kompak.

"Nggak usah khawatir. Harusnya pulang nanti kamu udah dipingit, nggak boleh kemana-mana lagi dan nggak perlu sibuk mikirin banyak hal. Fokus aja siapin diri jadi istri yang baik," ujar Aludra.

"Iya, Fa. Nggak usah khawatir. Kami berdua udah siap kok untuk dampingin kamu minggu depan. Toh kainnya juga udah kamu kirim sejak sebulan yang lalu," ujar Arabella. "Nggak ada lagi yang perlu dipikirin kan?"

Aku menggeleng dan tersenyum.

"Awas ya kalau masih sibuk ngurus ini dan itu lagi," kata Aludra. "Pulang nanti yang boleh kamu pikirin cuma perawatan untuk diri kamu sendiri. Gedung, katering, undangan, bunga, dan lain-lain serahin semuanya ke yang lain."

"Tapi mikirin Althaf boleh dong ya," goda Arabella.

"Oh, kalau yang itu boleh dong," ujar Aludra sambil menatapku dengan cengiran jail. "Eh ngomong-ngomong nih, Fa, selama ini komunikasi kalian gimana?"

Komitmen (JGK New version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang