Prolog

1.4K 172 42
                                    

Seseorang menyebutku sebagai perempuan bodoh. Bodoh karena tidak mau memperjuangkan seseorang yang ia rekomendasikan untuk jadi pasanganku. Bodoh melepas seseorang yang menurutnya sudah mapan dan merupakan calon suami ideal.

Aku diam. Aku hanya membalas setiap kata-katanya dengan senyuman. Dia bicara seolah-olah peduli padaku. Padahal nyatanya, ia hanya ingin memojokkan aku yang menolak keponakan suaminya. Lucu. Manusia sekarang benar-benar lucu. Memaksakan standar hidup mereka pada orang lain. Mengukur segalanya dari materi. Berlindung di balik sikap sok peduli, padahal nyatanya hanya sibuk untuk memuaskan diri sendiri.

Mulutnya masih sibuk memuji pria yang kutolak itu. Tak lupa menyelipkan ucapan-ucapan untuk memojokkanku, yang mengindikasikan seakan aku adalah perempuan sombong nan bodoh yang tidak pandai melihat kesempatan.

"Dia tuh udah mapan. Sangat mapan. Banyak perempuan naksir sama dia. Kamu, nggak perlu usaha lebih udah bisa kenal dia. Tapi kamu malah nutup pintu hati."

Aku tersenyum. Lawan bicaraku masih belum menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti bicara.

"Harusnya kamu maju. Tunjukin kalau kamu tertarik sama dia."

Permisi... Halo? Sepertinya dia lupa kalau tadi aku bilang tidak tertarik. Aku juga sudah menjelaskan kalau keponakan mapannya itu sejenis pria pongah yang merendahkan wanita. Makhluk narsis yang bangga punya sederet mantan, yang mapan secara finansial, tapi tidak mapan secara mental. Ya kali yang seperti itu mesti aku kejar-kejar untuk dijadikan suami.

"Jarang lho ada cowok mapan, baik, sayang keluarga seperti dia."

Oh ya? Apa kita hidup di planet asing sekarang? Kok situ yakin benar kalau cuma keponakan mapannya itu saja stok laki-laki sempurna di muka bumi ini. Lucu sekali. Lihat sekarang, aku jadi berbisik jahat di dalam hati karenanya. Ini benar-benar tidak sehat.

"Kalau baik, dia bakalan tahu gimana cara memperlakukan wanita, Mbak." Akhirnya aku bicara juga. Lawan bicaraku ini sudah ibu-ibu pertengahan empat puluh, tapi tidak terima jika aku panggil tante. Dia memaksa dipanggil "mbak".

"Maksudnya?"

Oh, akhirnya dia ngasih aku kesempatan menjelaskan lebih lanjut.

"Saya nggak suka menjelekkan orang lain. Tapi saya mengatakan ini agar Mbak punya perspektif lain soal dia. Jika dia baik seperti yang Mbak katakan, dia akan datang ke rumah saya dengan cara yang baik. Bukan sibuk ngajak ketemuan di luar. Jika dia baik, dia tahu etika saat bertemu wanita. Dia akan bicara dengan baik, bukan malah tiba-tiba sibuk pamer tentang pengalamannya mengencani belasan gadis. Kalau dia baik, matanya nggak bakalan jelalatan sana-sini, dan..." Aku seketika diam. "Maaf, saya nggak akan membeberkan lebih lanjut."

"Oh, biasalah itu. Laki-laki kan memang sering begitu. Tapi dia tuh ya, meski banyak cewek yang naksir sama dia, tapi cuma sama kamu dia kelihatan tertariknya. Sama yang lain malah dia nggak mau. Harusnya kamu merasa spesial dong. Dia udah mapan. Mamanya suka sama kamu. Apa lagi coba?"

Perempuan di hadapanku ini memang belum mengerti rupanya.

"Saya juga suka sama mamanya. Beliau baik. Tapi kalau saya ngerasa nggak cocok sama anaknya, ya apa boleh buat, kan?"

"Mbak dulu tuh ya, Fa, sama suami Mbak tuh nggak suka banget malah. Mbak cuekin. Tapi lama-lama luluh juga lihat dia begitu serius ngejar Mbak. Jujur nih, Mbak lebih milih dicintai daripada sibuk mencintai. Alhamdulillah, inilah jodoh Mbak. Kami bahagia sekarang. Harusnya kemarin kamu nggak nolak dia."

Aku menarik napas dalam-dalam. Lihat, masih saja berusaha menyalahkan aku dan memaksakan kehendaknya. Sabar, Fifa. Sabar...

"Ya, Mbak. Jodoh mah nggak kemana. Mau berusaha ditolak gimana pun, kalau udah jodoh sama dia sih ya bakal balik ke dia juga."

Komitmen (JGK New version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang