02

2.5K 158 1
                                    

Felicia berlari menuju kelas di mana kedua sahabatnya sudah berada di sana sejak pagi.

Melihat temannya yang terlihat buru-buru, Mia menautkan alis begitu Felicia sampai di bangkunya. Cewek berumur 17 tahun itu langsung memiringkan kepalanya, dengan pundak naik turun ia membiarkan rambut menutupi wajahnya.

"Lo abis lari marathon, Fel?" tanya Sheril bingung.

Felicia menarik nafas. "Lebih dari itu."

"Paan sih lo, gak jelas," ujar Mia.

"Lo abis ngapain si, Fel? Serius gue. Kayaknya lo abis ngapain gitu. Atau ..." Sheril menggantungkan ucapannya, wajahnya berubah serius, "JANGAN BILANG LO SENAM 5 JARI?" tanyanya heboh.

Menyadari respon seisi kelas yang langsung menoleh ke arah meja mereka, Mia langsung menoyor kepala Sheril yang otaknya makin tidak jelas saja tiap harinya. "Bego ya lo? Malu-maluin gue aja, sih, jadi temen," ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Lelah.

Felicia mendongkakkan kepalanya, menatap dua sahabat di depannya dengan tatapan datar. "Gue mau nanya."

Mia menyahut, "Jangan bilang lo mau nanya sejak kapan Sheril jadi bego. Tau deh, bingung juga gue. Sejak kepalanya kejedot pintu kamar lo, kali ya Fel?" ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan dramatis.

"Lo mah jahat ih, kesel," Sheril cemberut.

"Lo berdua bisa normal dulu gak sih, bentar aja?" omel Felicia, gerah dengan sikap teman-temannya.

Mia dan Sheril seketika diam. Menatap Felicia dengan seksama. Menyadari dua temannya ini berubah serius, ia berdeham. "Jadi, gini. Gue mau tanya. Lo pernah gak sih denger Iqbaal ngomong?" tanyanya.

Sheril-yang memiliki banyak relasi hingga tahu banyak tentang kabar di sekolahan ini segera menjawab. "Gue pernah. Dan harus lo tau, denger dia ngomong itu emas banget. Bukan Cuma karena dia jarang ngomong makanya sekalinya ngomong berharga. Tapi, Demi Lovato ya, suaranya indah banget, kawan."

Felicia mengerutkan keningnya, mengingat-ingat suara Iqbaal tadi malam plus tadi pagi. Gak indah kok, si Sheril aja kali yang telinganya kopokan, gumamnya dalam hati.

"Emangnya kenapa, deh, lo tiba-tiba nanyain Iqbaal? Aneh banget," tutur Mia yang juga disadari oleh Sheril-terlihat dari responnya yang mengangguk cepat.

Felicia mengigit bibirnya, tampak bingung. Namun, berhubung mereka adalah sahabatnya dan ia percaya kalau sebawel apapun mulut mereka, jika sudah menyangkut rahasia, pasti tutup mulut, akhirnya Felicia angkat suara. "Gue gak mau maksa lo semua percaya sama gue atau enggak. Itu semua terserah lo berdua. Tapi," jeda, ia mengambil nafas dulu sambil bersiap akan reaksi dua temannya. Ia juga memelankan suaranya hingga berbentuk bisikan, "Iqbaal sekarang tinggal di rumah gue."

Mia dan Sheril ber-oh ria, nampak biasa saja. Namun, saat kedua pasang mata itu berpandangan, tiba-tiba saja mereka memekik. "APA LO BILANG?"

Felicia meringis melihat seisi kelas seketika menaruh perhatian kepada mereka. Ia lantas nyengir dan meminta maaf yang dibalas dengan geleng-gelengan kepala oleh ketua kelas mereka, Arya, yang memang selalu takjub dengan tingkah dua sahabatnya itu.

Saat keadaan kembali normal, Felicia menatap kembali sahabatnya. "Nyesel jadinya 'kan gue cerita," sesalnya dengan dramatis.

-

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu, tapi Felicia dan kedua sahabatnya masih berada di kelas. Menagih hutang penjelasan pada Felicia karena tadi pagi, dipotong oleh kedatangan guru Matematika mereka.

"Kenapa gak bokap gue aja yang temen deketan sama bokap Iqbaal?" rengek Sheril. "Bodo deh dia mau kaga ngomong kek, cuek kek. Yang penting 'kan bisa tiap hari natepin mukanya."

Feicia bergidik. "Gue malahan serem kalo bareng dia. Kurang dari sepuluh menit aja, gue udah nyaris pingsan 2 kali gara-gara gerakannya yang serba tiba-tiba," ia mendengus, "Gue sangsi dia dikandung 9 bulan. Kali aja lahirnya juga tiba-tiba."

"Yee, aneh lo!"

Ketukan di pintu menyadarkan mereka bertiga. Mia nampak kaget, mengira yang mengetuk adalah satpam sekolah yang bersiap untuk mengunci kelas setiap jam 5 sore saat sudah tidak ada lagi kegiatan di sekolah.

Namun, belum sempat dugaan itu terlampau jauh karena tiba-tiba saja langkah kaki terdengar memasuki kelas. Nampak Iqbaal berdiri di depan pintu, dengan kedua tangan dijejalkan di saku celana. Tatapan datarnya lurus ke arah Felicia.

Ditatap begitu, Felicia jadi mundur selangkah. Takut Iqbaal mendengar obrolannya dengan Mia dan Sheril yang sedang membicarakan dirinya.

Tanpa mengalihkan pandangannya, Iqbaal mengambil benda persegi yang ada di saku kanan celananya. Ia mengalihkan sebentar pandangannya untuk mengetik sesuatu, lalu kembali menatap Felicia setelah benda persegi itu kembali di tempatnya.

Tak lama setelah itu, saku rok Felicia bergetar. Sama dengan Iqbaal tadi, ia mengeluarkan benda persegi berwarna putih dari roknya. Ia membaca pop-up pesan yang berasal dari Line.

Iqbaal Dhiafakhri : Oom Gama nyuruh gue plg brg sm lo. Tenang aja, sekolahan udah sepi jam sgini

Felicia menurunkan handphone-nya dengan ragu--bingung juga sebenarnya, sejak kapan Iqbaal berteman dengannya di Line?--, lalu menatap Iqbaal. Ia terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangguk. Ia kemudian pergi menyusul Iqbaal keluar dari kelas setelah pamit dengan kedua temannya yang hanya bisa melongo melihat kejadian yang baru saja terjadi.

ditulis : 7 Januari 2015

disunting : 05 Juli 2016

Stupid Love [PENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang