Anticlinorium

10.6K 1.5K 161
                                    

Anticlinorium merupakan lipatan yang antiklin utamanya terdiri dari beberapa lipatan lain yang ukurannya lebih kecil.
.
.

Gayatri membuka seluruh gorden di ruangan sang ayah. Pagi ini ia libur sehingga ia bisa menemani ayahnya. Sinar matahari seketika masuk ke ruangan tersebut. Hal ini membuat udara lebih terasa segar dibandingkan ketika tertutup semua.

Gayatri segera membantu sang ayah yang nampak ingin duduk. Keadaan ayahnya semakin membaik. Kemungkinan jika menunjukkan progres yang pesat, dua tiga hari ayah bisa pulang ke rumah.

"Ayah mau keluar." Ucap laki-laki itu.

"Jangan dulu ayah, dokter belum memperbolehkan untuk keluar dulu. Kita lihat luar dari jendela ruangan ini saja ya?" ajak Gayatri. Beberapa hari ini pula hubungan ayah dan anak itu menunjukkan kemajuan yang pesat. Ayah menyadari kesalahannya dulu yang sudah banyak berdosa pada anak bungsunya tersebut. Penyesalannya seakan datang beruntun saat ini. Beliau sangat sadar jika Gayatri tak ada hubungannya dengan kematian sang istri yang amat ia cintai. Gadis itu lahir tanpa tahu apa-apa tetapi justru dia membenci dan menganggap Gayatri sebagai anak pembawa sial. Sungguh hati terdalamnya sangat menyesal dan kesalahannya amat banyak pada anaknya itu.

Ayah mengangguk, lalu Gayatri membantu sang ayah untuk duduk di kursi roda. Gayatri mendorong kursi roda ayahnya menuju ke jendela.

"Mau kemana?" tanya ayah ketika Gayatri hendak berbalik.

"Mau ngambil sarapan buat ayah." Lalu gadis itu mengambil makanan yang sudah disediakan oleh rumah sakit.

Gayatri lalu menyuapi sang ayah dengan telaten. Gadis itu dengan sabar membantu ayah untuk sarapan. Belum sampai habis, ayah menolak untuk makan kembali. Gayatri yang sudah beberapa kali menyuapi pun menghentikan karena tahu jika nafsu makan ayah berubah drastis semenjak sakit.

"Di sini saja." Ujar laki-laki itu dengan suara lirih ketika Gayatri hendak keluar sebentar. Akhirnya mau tak mau gadis itu mendekat ke sang ayah dengan membawa kursi.

"Kamu nggak kerja?" tanya ayah karena Gayatri jarang terlihat ketika pagi hari.

"Libur, Yah." Jawab gadis itu pelan.

Ayah nampak menghela nafasnya dengan pandangan menatap kota Jakarta dari ruangan inapnya yang berada di lantai 4. Lalu tatapannya berpindah pada Gayatri yang duduk di sampingnya.

"Kenapa kamu masih peduli sama ayah?" tanya ayah. Gayatri lalu menatap ayahnya itu sebentar sebelum kembali menatap ke depan.

"Aya pun nggak tahu jawabannya, Yah." Lalu mereka sama-sama diam. Mereka sama-sama larut dalam pikirannya sendiri.

"Seharusnya kamu bisa benci ayah." Ucap ayah kembali dan membuat Gayatri menoleh cepat.

"Benci?"

"Aya sudah capek harus saling membenci. Biarlah waktu yang menyembuhkan, ayah. Yang lalu biarlah berlalu." Lanjut Gayatri pelan.

"Tapi ayah sudah membuat kamu menderita dan merasakan ketidakadilan sebagai anak. Banyak dosa yang ayah tebar dengan menyia-nyiakan kamu. Biarlah kamu membenci ayah agar ayah tahu rasanya menjadi kamu yang harus merasakan sakit hati dari dulu." Ucap ayah kembali dengan nada lirih sarat akan kesesakan.

"Kalau Aya membenci ayah, seumur hidup Aya harus menanggung beban sakit hati yang tak kunjung usai. Sepanjang hidup Aya sampai saat ini, Aya sudah lelah semisal menanggung sakit hati dan harus bertahan di tengah keluarga yang tak pernah mengharapkan Aya. Biarlah cukup sampai sini. Mari perbaiki, belum ada yang terlambat. Masalah sakit hati dan ketidakadilan biarlah Aya yang merasakan. Aya ingin melupakan, terlalu sakit untuk diungkit kembali, Yah."

DersikWhere stories live. Discover now