Sebuah usaha membahagiakan

Start from the beginning
                                    

"Hm."

"Sekarang Awang tidur lagi. Masih malam."

"Papi kenapa belum tidur?"

"Belum ngantuk," bohongnya. Padahal, Damian memang sudah mengantuk sejak tadi. Namun, sang istri mengunci kamar mereka dari dalam karena ngambek. Tidur di sofa sama sekali tidak nyaman, sedangkan di kamar tamu bisa mengundang kecurigaan putranya.

"Enggak berantem lagi sama Mami, 'kan?"

"Enggak kok."

Dewangga mengangguk.

"Ya udah, kamu tidur. Papi keluar dulu, ya. Selamat istirahat, Nak."

"Papi juga."

***

Dewangga menggigit bibir sembari memegang perutnya yang sudah berbunyi berulang kali. Demi apa pun ia lapar sekarang. Tadi Dewangga bangun terlambat, jadi tak sempat sarapan. Apalagi, semalam ia tidak makan sama sekali karena tidur lebih cepat. Orang tuanya juga demikian. Sang ayah bahkan baru bangun ketika Dewangga mengetuk pintu dan minta diantar ke sekolah.

Daniel yang menyadari hal itu langsung mengambil sesuatu di dalam tasnya, lalu menyerahkan benda itu pada Dewangga. Tanpa suara, mulutnya berucap, "Makan. Gue jagain dari sini."

Awalnya Dewangga tidak mengerti apa yang dikatakan sahabatnya, tetapi perlahan ia mulai memahami gerak bibir lelaki itu. Dewangga meliarkan pandang sebelum membuka kotak bekal yang diberikan Daniel, lalu mulai memakan isinya setelah memastikan semua aman. Beruntung hari ini Daniel duduk di depannya, jadi tubuh tegap lelaki itu bisa menyamarkan aktivitasnya.

Hanya roti lapis memang, tetapi entah mengapa rasanya begitu nikmat. Mungkin karena Dewangga kelaparan, sehingga apa pun dua kali lipat nikmatnya.

Di meja samping Hyena mati-matian menahan diri agar tidak tertawa. Pasalnya, Dewangga sekarang tampak seperti baru saja mencuri makanan. Anak itu makan dengan lahap sementara kedua netranya meliar mengamati sekitar agar tak ketahuan.

Tepat ketika netra keduanya bertemu, Dewangga tersedak. Pemuda itu langsung menunduk sembari membekap mulut berusaha menyamarkan suara batuknya, pun makanan yang belum sempat tertelan. Tak lupa ia mengamankan kotak bekal Daniel di bawah meja. Sayang, meski diredam sedemikian rupa, tetap saja suaranya mengundang perhatian seisi kelas, tak terkecuali Bu Meta.

"Dewangga, kamu kenapa?"

"Awang masih sakit, Bu. Izin bawa ke UKS, ya, Bu." Daniel buru-buru bersuara sebelum sang guru mata pelajaran mengecek kondisi Dewangga sendiri.

Karena Daniel dan Dewangga memang bukan anak yang suka macam-macam, Bu Meta langsung percaya dan membiarkan Daniel membawa sahabatnya ke ruang kesehatan.

Hyena semakin cekikikan melihat hal itu, tetapi sebal juga. Mengapa Dewangga tiba-tiba tersedak saat mereka bertatapan? Apa wajah Hyena semenakutkan itu? Keterlaluan.

Saat bel istirahat berbunyi, gadis itu langsung menyusul kedua sahabatnya. Tak ayal, Dewangga mengomel habis-habisan karena kejadian di kelas tadi.

"Parah banget, gue lagi enak-enaknya makan lo tiba-tiba lihatin gue kayak gue ini tersangka penjual bakso boraks. Kurang ajar banget emang."

Kompak Daniel dan Hyena tertawa.

"Lagian elo kayak kelaparan gitu. Emang enggak sarapan tadi?"

"Enggak. Gue kesiangan. Papi sama Mami juga malah baru bangun pas gue mau minta diantar ke sekolah."

"Wah, habis nyetak bakso tuh."

Dewangga langsung memasang tampang cengo. "Hah?"

"Iya, habis nyetak bakso. Bakso beranak," sahut Hyena dengan polosnya.

Pemuda itu mendengkus sebal, tetapi tak menyahuti ucapan sahabatnya.

"Tapi, Wang, lo udah baikan?" tanya Daniel.

Dewangga mengangguk cepat. "Kayaknya ancaman mau diseret ke rumah sakit bikin gue sembuh lebih cepat. Gue enggak boleh sakit. Mami mau banget gue ikut lomba nanti. Kalaupun gue enggak bisa masuk tim, seenggaknya bisa ikut belajarnya."

Daniel menggigit bibir bawahnya setelah mendengar ucapan Dewangga. Ia tahu betul sudah sekeras apa Dewangga belajar, dan sekuat apa pula dorongan maminya. Daniel jadi tidak tega. Haruskah ia melepas kesempatan itu kali ini dan membiarkan Dewangga yang maju sebagai perwakilan sekolah? Dengan demikian, mungkin Daniel bisa sedikit berguna sebagai seorang teman.

"Eh, kantin, yuk! Gue juga lapar."

Dewangga dan Hyena langsung mengangguk.

"Gue aja yang pesan. Kalian mau apa?" Daniel kembali bersuara begitu mereka tiba di kantin.

"Dan, Awang bubur aja. Jangan makan aneh-aneh dulu. Gue apa aja yang penting banyak, enak, dan murah. Lebih bagus lagi kalau gratis."

Kompak Daniel dan Dewangga mencubit pipi gadis itu, membuat Hyena refleks memekik.

"Sakit, astagfirullah!"

Daniel memesan dua mangkuk bubur, salah satunya dengan kerupuk ekstra dan satunya lagi dengan kecap yang sedikit lebih banyak. Iya, Dewangga suka kecap dan Hyena suka kerupuk. Sementara ia sendiri memesan semangkuk mi ayam.

Saat pesanan mereka datang, Hyena langsung menyambar semangkuk mi ayam, tetapi Daniel menahan pergerakannya.

"Lho, kenapa?"

"Itu punya gue!"

Sebelah alis gadis itu terangkat. "Tumben amat? Ada angin apa?"

Daniel menggeleng. Ia memasukkan banyak sambal ke dalam mangkuk, membuat Hyena dan Dewangga menatapnya heran.

"Dan, lo enggak bisa makan pedas. Itu apa-apaan anjir? Mau sakit perut?"

"Iya. Lo apa-apaan, sih? Nyari penyakit aja. Tahu gitu, roti lo tadi enggak gue makan." Dewangga ikut bersuara.

"Ya elah, santai aja. Cuma pengin keluar dari zona nyaman. Mana tahu setelah ini gue jadi kuat makan pedas, 'kan?"

"Jangan ngada-ngada deh lo. Sebentar lagi lomba. Jangan sampai lo diare."

Daniel menyentil dahi gadis di hadapannya, lalu berkata, "Jorok banget bahasan lo. Udah tahu lagi makan! Makan cepat bubur punya lo. Kalau gue berubah pikiran, itu dari gratis bisa jadi dua kali lipat pembayarannya. Pakai ongkos pesan."

"Dasar pelit."

Enggan melewatkan kesempatan makan gratisan, Hyena buru-buru memakan makanannya, begitupun Dewangga. Mereka makan dengan lahap, sampai tak sempat memperhatikan raut wajah Daniel yang mulai berubah.

Daniel tak menganggap ini sebagai pengorbanan, tetapi usaha membahagiakan seorang sahabat.

|Bersambung|

Kalian tim mana?

#DanielHyena
#DewanggaHyena

Hampir 1400 kata nih :") komentar kalian cuma kuat segitu aja?

Dewangga [JJK]Where stories live. Discover now