Sebuah usaha membahagiakan

3.6K 567 82
                                    

Tengah malam Dewangga terbangun. Pemuda itu duduk sejenak, kemudian melempar pandang ke arah jendela dengan sorot menerawang. Merasa takjub dengan apa yang terjadi sekarang. Setelah bertahun-tahun, ini kali pertama ia bisa tidur dengan pulas. Padahal biasanya, jangankan berjam-jam, tak sengaja tertidur pun pemuda itu akan segera kembali terjaga karena mimpi buruk.

Dewangga jadi penasaran, apakah ia benar-benar sakit? Semoga saja tidak. Dewangga tidak boleh sakit agar bisa mewujudkan impian sang mama. Sekalipun itu benar-benar bukan dunia yang ingin digenggamnya.

Dunia yang Dewangga inginkan begitu sederhana. Hanya ada ia dan deret aksara yang terangkai sepenuh hati hingga membentuk sebuah cerita. Namun, sang mama menghancurkan mimpinya dengan mengatakan bahwa menulis sama sekali tidak berguna. Jika Dewangga sampai jadi penulis, mamanya tidak akan pernah bahagia. Sejak saat itu, ia menyerahkan mimpinya, lantas menggantinya dengan yang lain.

Ragu, pemuda itu bangkit dari posisi semula. Berjalan perlahan mendekati meja belajar. Dengan penerangan seadanya, tangan Dewangga bergerak membuka laci yang selalu terkunci, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam sana.

Senyumnya merekah sempurna melihat benda tersebut. Buku bersampul cokelat muda dengan ilustrasi anak laki-laki tengah duduk berdiri di sudut ruang langsung terjamah netra. I'm Not a Robot tercetak tebal di bagian atas, sementara terpaut satu sentimeter dari judul, namanya terukir manis. Dewangga Owen Aswandika.

Dewangga semakin dalam menunduk, menggulir halaman demi halaman. Buku ini dicetaknya sendiri saat masih duduk di bangku SMP. Desain sampulnya pun ia yang membuat, berbekal aplikasi penyunting foto. Karya pertama dan mungkin ... terakhir.

Asyik membaca, tiba-tiba saja sesuatu menetes pada salah satu halaman buku. Dewangga langsung panik dan menyekanya tergesa. Bukannya hilang, cairan itu justru meluas dan membuat halamannya semakin kotor. Namun, detik berikutnya ia tersadar dan langsung membekap area hidung. Sedikit terhuyung pemuda itu berjalan ke arah kamar mandi.

Kedua netranya terpusat pada tetes demi tetes cairan yang jatuh, meninggalkan jejak kemerahan di wastafel.

"Gue sehat, enggak sakit. Besok harus olahraga supaya badannya lebih fit. Papi benar, badan lemah karena jarang olahraga." Pemuda itu berujar lirih sembari menatap pantulan wajahnya di cermin.

Sudah berulang kali Dewangga mimisan seperti ini, tetapi tak sekalipun ia bicara pada kedua orang tuanya. Hanya Hyena dan Daniel yang tahu. Itu pun karena tanpa sengaja mereka melihatnya dalam kondisi tersebut.

"Awang."

Dewangga tersentak dan langsung menyalakan keran guna membersihkan noda darah yang tercecer di wastafel. Itu suara papinya. Setelah memastikan semuanya terlihat baik-baik saja, Dewangga langsung keluar.

"Papi."

"Kamu ngapain, Nak?"

"Kebelet, Pi," sahut Dewangga sembari duduk di atas tempat tidur.

Damian turut duduk di samping Dewangga, lalu menyentuh dahi putranya. "Panas lagi," ujarnya. Beberapa jam yang lalu Damian berani meninggalkan Dewangga karena suhu tubuh putranya sudah turun. "Coba kamu nurut, Nak buat dirawat dulu."

"Enggak. Nanti ada setan. Dokter sama perawatnya juga barbar bawa-bawa suntikan."

"Astagfirullah. Gimana mau jadi dokter coba? Bukan barbar itu tuh. Emang suntikan dan lain sebagainya alat tempur mereka buat sembuhin pasien."

Emang enggak mau jadi dokter. Kalimat itu tertahan, tak benar-benar disuarakan.

"Ayo tidur lagi. Kalau besok enggak baikan juga, terpaksa kita ke rumah sakit. Seenggaknya ambil darah aja buat pemeriksaan."

Dewangga [JJK]Where stories live. Discover now