Corsage

1.3K 79 30
                                    


APAKAH adik kelas dan kakak kelas takkan pernah bisa berteman? 

Apakah mereka hanya bisa bertemu sebagai musuh?

Nura sering bertanya-tanya tentang hal itu sejak pertama kali masuk SMA. Seperti kebanyakan sekolah menengah atas di Jakarta, sekolah mereka mengaku sebagai lingkungan anti-bullying. Tetapi, siswa-siswa senior di situ selalu memiliki cara untuk mengintimidasi adik kelas mereka.

Kini, menjelang kenaikan ke kelas 11, Nura memiliki jawaban akan pertanyaan yang membuatnya tak hanya penasaran, tetapi juga gemas. 

Ternyata, tidak. 

Tidak selalu demikian. 

Buktinya, salah satu dari senior tersebut kini menjadi sahabatnya.

Ia adalah Gia. Panggilan dari Gia Nendra Amari, seuntai nama yang menurutnya indah untuk dilafalkan. Gia merupakan perempuan keturunan Jepang-Sunda-Palembang yang  jelita, smart, dan membumi walau terbiasa menenteng props teater dengan tas Goyard besarnya. 

Tak tanggung-tanggung, Gia membawahi beberapa klub seni prestisius di sekolah mereka. Menurut rumor, ayah Gia yang membiayai kelangsungan hidup klub sekolah yang beberapa tahun belakangan hampir kehilangan denyutnya.

Gia terkenal di seluruh kalangan. Para adik kelas memanggilnya Kak Gia. Bagi Nura, cukup Gia. 

Tentu saja itu karena Gia yang membolehkannya.

"Aku pergi ke Carrefour ya, Ra. Cuma titip potato chips dan roti kismis 'kan? Jangan lupa kunci pintu apartemen."

"Baik, Ibu Gia!" Nura menjawab dengan nada setengah mengejek.

"Jangan panggil gue ibu, deh, Nurani Lira Adinegoro!" Gia terkekeh. Nama lengkap Nura terucap saat ia gemas dengan gaya bercandanya.

Nura dan Gia selalu bersama-sama. Hampir tak terpisahkan satu sama lain. Dulu dalam satu sekolah, kini mendiami satu apartemen yang sama. 

Keakraban mereka ini memiliki sejarah tak terlupakan. Bagi Gia, kedekatannya dengan Nura bukanlah sekadar kondisi mata dibayar dengan mata.

Nura memiliki cara sendiri untuk mengenang awal perkenalan mereka.Bagaimana mereka dapat menjadi sepasang sahabat, itu pun melalui proses yang tak biasa. Tak terlupakan. Satu dari sedikit momen yang akan selalu Nura simpan dalam relung hatinya.

Semua berawal di bangku SMA.

Nura hanyalah gadis biasa yang terlahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara dan menjadi yatim piatu saat seluruh keluarganya meninggal dalam kecelakaan kapal di laut ketika ia baru masuk SD. Nura kecil adalah satu dari sedikit penumpang yang selamat. Sejak saat itu, ia tinggal bersama Bude Ajeng yang memilih hijrah ke Jakarta, meninggalkan Solo selamanya.

Duka berikutnya terjadi tepat sehari setelah Nura tampil dalam drama Timun Mas asuhan klub seni tari dan teater sekolah yang dipimpin Gia. Bude Ajeng tutup usia akibat komplikasi ginjal dengan penyakit diabetes yang diidapnya. Mimpi buruk Nura jadi kenyataan—ia kini benar-benar sebatang kara.

Gia ada di situ untuk menghiburnya. Bukan karena ia takut kehilangan aset berharga klub yang mampu memadukan gerakan klasik balet dengan tarian tradisional Indonesia untuk puncak pentas seni mendatang di sekolah mereka, tetapi ia dapat melihat sebuah retakan—halus, nyaris tak kasatmata—pada sikap tenang Nura ketika baru dirundung musibah.

Lalu, tangis Nura pecah saat ia berlatih menari berdua dengan sang kakak kelas. Nura tidak setabah itu. Ternyata kamu manusia biasa, Nura, Gia membatin sedikit lega.

CorsageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang