Chapter 1. Pelukis Laut

391 16 0
                                    


Angin pantai meniup rambut Sekar dengan lembut. Gadis itu sedang asyik melukis pemandangan pantai Kuta. Bermaksud mendapatkan waktu yang tepat untuk merekam nuansa sore hari, ia sudah bersiap-siap sejak sejam yang lalu.

Ini adalah hari ketiga gadis itu melukis di sana. Posisi kanvasnya tidak berubah, pun kursi lipat yang ia pinjam dari Anya, teman baiknya. Bagian belakang hotel yang dijalankan Anya kebetulan tepat menghadap ke arah pantai. Jadi bagi Anya, pemandangan Kuta di sore hari bukan lagi sesuatu yang istimewa.

Sekar tersenyum. Sepertinya kurang dari 3 hari lukisan itu akan rampung. Bali adalah surga bagi para pekerja seni rupa. Tidak akan ada yang menghakimimu saat kau duduk di pinggir pantai, mengenakan tanktop dan celana gemes, rambut dikuncir ala Korean bun dengan tangan belepotan cat.

Tak jauh dari situ, Mateen sedang berjalan menuju hotel sambil membawa papan selancarnya. Pria itu sudah berselancar sejak siang hingga matahari mulai terbenam. Paras rupawan disertai tubuh atletisnya bahkan membuat beberapa bule melorotkan shades mereka untuk memperhatikan lebih jelas. Dia sudah biasa menghadapi tatapan kagum semacam itu. Tapi toh, tidak banyak yang mengenalinya di negara ini.

Sebelum sampai di lobi hotel, ia menyadari kehadiran seseorang yang sedang melukis. Rasanya tadi belum ada orang di sana. Atau dia terlalu asyik dengan air laut dan tak menyadari keberadaan gadis cantik ini?

Ada sesuatu tentang gadis ini yang membuat Mateen ingin melihatnya lebih dekat. Dia mendekat, kemudian menatap wajah gadis itu. Astaga. Pasti kesannya tidak sopan! Jadi dia memutuskan untuk pura-pura tertarik dengan apa yang sedang dikerjakan gadis itu.

"Hey." Mateen menyapa si gadis cantik dengan senyum ramah. Dia tahu, sebenarnya rasanya canggung sekali disapa orang tak dikenal tiba-tiba. Tetapi rasa penasarannya lebih besar dari rasa jaga image-nya.

Yang disapa melirik Mateen sebentar dari atas ke bawah. Jelas terlihat raut canggung di wajah gadis itu. Dia lalu mendongak dan tersenyum sekilas lalu kembali tenggelam dengan pekerjaannya.

"I am sorry if I interrupt you. But that's a great painting!" Ujar Mateen sambil tersenyum penuh percaya diri. Dia mengutarakan kekagumannya dengan bahasa Inggris yang lugas. Tidak, tidak. Dia tidak akan surut dengan mudah. 

"Thank you." Balas gadis itu, tanpa melepaskan tatapannya dari kanvas.

Astaga. Dicuekin?! Batin Mateen. Diriku yang tampan dan gagah ini dicuekin!

"Well, okay." Ujar Mateen lagi, sadar kalau gadis itu sedang tidak ingin diganggu. "See you then." 

Si gadis cuma melambai sekilas, lalu kembali melukis lagi.

Mateen berjalan ke hotel dengan kebingungan. Baru kali ini ada gadis yang tidak histeris melihat ia bertelanjang dada.

***

Hari-hari seterusnya, Mateen sering melihat gadis pelukis itu di sekitar hotel tempatnya menginap. Namun tampaknya ia tidak menginap di situ. Mereka hanya berpapasan di lobi, bertukar senyum. Sepertinya gadis itu sedang menyiapkan semacam pameran di salah satu aula hotel tersebut. Terlihat dia terkadang sibuk mengarahkan orang-orang untuk mengatur barang-barang.

Suatu kali, Mateen memutuskan untuk bisa berkenalan dengan gadis itu bagaimanapun caranya. Sebab ia tidak yakin akan punya kesempatan lagi kalau tidak segera.

"Are you going to finish your painting soon?" Tanya Mateen, membuat gadis itu tersentak karena baru menyadari keberadaan Mateen di belakangnya.

"So-so, sorry! Didn't mean to startle you." Mateen panik sendiri.

Royal Authorities--An Untold StoryWhere stories live. Discover now