Chapter 9. Going Home

59 8 0
                                    

Mateen menatap Sekar yang telah berdiri pada jarak aman dari helikopternya. Sekar melambaikan tangan tepat saat helikopter itu mulai lepas landas lalu bergerak gesit menuju Brunei. Hatinya gundah sekali harus meninggalkan Sekar. Tapi saat ini, dia lebih khawatir pada keadaan Ibunya. Dia berdoa, agar ibunya tidak kenapa-kenapa. 

Beberapa anggota staf istana sudah bersiap di halaman untuk memberi aba-aba pendaratan helikopter Mateen. Penanda arah angin berwarna kuning terlihat tertiup ke arah Barat. Helikopter itu mendarat di halaman istana dengan mulus di bawah arahan staf tersebut. 

Hamdan, salah seorang dari staf Azhar bergegas menyongsong kedatangan Mateen dan lainnya. Staf bertubuh tinggi dan tegap itu menampik memberi hormat dan dibalas oleh Mateen. Dia menjelaskan kondisi terkini sang ibunda yang saat ini sudah berada di ruangan intensif. Mereka semua kemudian bergegas menuju ke rumah sakit.

Mateen dan Shafa menunggu di depan ruang perawatan intensif. Ayah Mateen sedang berada di dalam bersama seorang ajudan. Dokter hanya mengijinkan maksimal dua orang ke dalam ruangan tersebut. Tangan Mateen mengepal sambil duduk di bangku. Begitu ayahnya keluar, Mateen segara menyongsong pria itu. Mateen dan Shafa bergantian mencium tangan ayahnya dengan sopan. Namun ekspresi keras ayahnya membuat Mateen sedikit merasa bersalah. Dia tahu, ibunya pasti memikirkan dia karena tidak mau juga kembali ke Brunei. 

Paduka menatap Mateen dengan sedikit gusar. Dia tahu ini bukan saat yang tepat untuk memarahi putranya itu, meski hatinya sangat emosi. 

“Right after this, we have to talk.” Ujar raja dengan singkat.
“Daulat, Ayahanda.” Ujar Mateen. Paduka dan ajudannya meninggalkan Mateen seorang diri. Dokter Hans, yang sudah dipercaya menangani keluarga kerajaan, membuka ruangan intensif dan mempersilahkan Mateen dan Shafa masuk ke dalam.

Mateen menarik napas dengan berat menatap sosok ibunya yang terbaring di ranjang. Alat pernapasan dan infus sudah terpasang. Terlihat monitor menunjukkan angka-angka yang sangat riskan. Mateen berusaha menahan emosinya. Dia menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Dia tidak tahu harus berucap apa pada saat itu. 

“Ma, I’m home.” Ujar Mateen dengan serak. Dia berusaha tegar dan tersenyum. Perlahan, monitor menunjukkan angka-angka yang mulai stabil. Detak jantungnya mulai normal. Tekanan darah mulai menurun. Dokter Hans terpana. Dia mengecek monitor-monitor, memastikan kondisi ibunda Mateen benar-benar membaik. 

“She’s getting better.” ujar dokter Hans dengan perlahan. Mateen terkejut ketika jemari ibunya bergerak dalam genggamannya. Dia menarik tangan ibunya ke pipinya tanpa sadar airmatanya terjatuh. Shafa terisak sambil mengusap-usap wajah ibunya. 

Saat itu Mateen bersyukur lebih dari apapun melihat kondisi ibunya yang mulai sadar. 

Dr Hans meminta agar ibunda Mateen istirahat dulu. Kondisi fisiknya belum memungkinkan untuk sepenuhnya sadar dan butuh banyak istirahat. Mateen pamit dan berterima kasih pada dokter Hans. 

***

Mateen menelepon Sekar sebelum dia bersiap untuk tidur. Dia duduk di meja kerjanya, tenaga dan pikirannya rasanya terkuras seharian ini. Sekar mengangkat teleponnya dari seberang. 

“Halo, Mateen.” Ujar Sekar lembut. Belum sehari berpisah, Mateen menyadari betapa rindunya dia mendengar suara itu. 

“Why haven’t you slept?” Tanya Mateen.

“I am not sleepy yet.” Jawab Sekar. “How are you?”

“I am okay.” Jawab Mateen. Namun keheningan mengiringi suaranya. 

“You are not.” Ujar Sekar. 

“You are right.” Mateen menghela napas. 

“It’s okay not to be okay.” Sekar berkata dengan sabar. Gadis itu belum berani menanyakan keadaan ibunda Mateen. Tak lama, keheningan menyusul.

Royal Authorities--An Untold StoryWhere stories live. Discover now