Chapter 8. Shafa

49 9 1
                                    


“Hi, dear!” Wanita itu langsung berdiri dan memeluk Sekar dengan ramah. “Sorry for coming so late, I am Shafa, Mateen’s older sister.” Shafa memperkenalkan diri. 

“Hei. Nice to meet you. I am--” Belum selesai Sekar berbicara, Shafa sudah memotong dengan tidak sabar. 

“I already knew you. This dude over here has told me every single thing about you.” ujar Shafa. Mateen tersenyum tersipu-sipu. Sekar merasa wajahnya merona merah. 

Mereka menikmati makan malam yang tenang itu. Suara debur ombak memecah sesekali. Selesai makan malam, Mateen minta diri dan membawa Sekar menuju ke rooftop. Shafa dan Azhar masih mengobrol di meja itu sebelum akhirnya memutuskan untuk berpisah untuk beristirahat. 

Sekar dan Mateen duduk dengan nyaman di atas sofa malas yang lebar. Dengan posisi itu, mereka dapat melihat bintang-bintang dengan jelas. 

Mateen menunjuk konstelasi bintang-bintang sambil menjelaskan kalau yang mereka lihat adalah rasi bintang Ursa Mayor. 

“Rasi bintang ini selalu menunjuk ke utara. Awak lihat itu?” ujarnya sambil menunjuk-nunjuk langit dengan antusias. 

“Kok bisa?” tanya Sekar. Mateen meraih tangan gadis itu, menunjukkan arah rasi bintang yang dia maksud. Dia dengan sabar menjelaskan bagaimana Ursa Mayor digunakan nelayan untuk menunjukkan arah ketika mereka di laut. 

“Awak harus sering lihat rasi bintang baru faham.” Ujar Mateen akhirnya. Mendadak dia merasa perasaannya seperti Richard yang merasa sia-sia saja mengabsen semua dinosaurus karnivoranya.

“Ah, nanti aku belajar rasi bintang lagi deh.” Ujar Sekar. Dia mendekatkan dirinya, dan bersandar nyaman pada dada bidang Mateen. Tangan gadis itu melingkar di pinggang pria itu. Hati Mateen berdetak kencang. Dia bisa mengenali aroma shampo Sekar. Dengan lembut dia memainkan rambut Sekar, mengagumi betapa indah Tuhan menciptakan gadis itu. 

“Mateen?” Tanya Sekar setelah mereka berdiam dalam pikiran masing-masing. 

“Hm?” Jawab Mateen

“Kenapa kamu lakukan semua ini?”

“Karena aku ingin tengok awak bahagia.” 

“Tapi ini lebih dari apa yang bisa aku bayangkan.” ujar Sekar. “Ketahuilah, Mateen. Aku tidak mau dibawa terlalu jauh lalu suatu hari aku tersadar kalau ini semua hanya mimpi.”

“Sekar, aku tidak janjikan semua yang baik.” ujar Mateen. “Yang aku boleh perbuat adalah menjagamu dengan seluruh jiwa dan raga, serta membuatmu bahagia.”

“Aku tidak mau menyebut ini. Tapi kita bahkan ga tau akan seperti apa hari esok. Ayahmu sudah memiliki calon untukmu. Dan secara jelas, kita memang berbeda, Mateen.” 

Sekar bangkit dari posisinya yang tadi bersandar. Dia duduk dan menunduk menatap Mateen dengan lekat. Dia harus mengumpulkan seluruh tekad agar bisa menatap pria itu tanpa merasa gugup. 

“Apa yang membuat awak begitu banyak pikiran?”

“Aku takut.” Ujar Sekar. Kepalanya jatuh di dada pria itu. “Aku tidak merasa benar-benar mengenalmu. Dunia kita jauh berbeda. Aku terlalu takut membayangkan masa depan jika kita bersama.” 

Mateen mengelus rambut Sekar dengan lembut. Dia tahu apa yang dipikirkan gadis itu. 

“Awak tahu apa yang membuat awak menarik dibandingkan puan-puan lain yang pernah kutemui?” tanya Mateen.

Sekar menggelengkan kepalanya.

“Awak adalah puan yang paling kuat.” Jawab pria itu.

Sekar menegakkan tubuhnya, memberi tatapan tajam. 

Royal Authorities--An Untold StoryWhere stories live. Discover now